Dewi Nova[2]
Tulisan serial pertamaku adalah catatan harian yang kusembunyikan diantara buku pelajaran, waktu kelas 4 sekolah dasar. Kusebut serial, karena catatan harian itu terus kutulis hingga sekolah menengah. Catatan itu berisi kekecewaanku pada kawan sebaya laki-laki yang datang ke rumah dalam keadaan mabuk untuk menyatakan cinta. Sejak itu aku merasa menulis cara terampuh untuk mengatasi perasaan. Termasuk perasaanku yang tidak sependapat dengan bibi yang mengajarkan untuk bersikap sopan dan sabar menolak perasaan cinta pada laki-laki. Sementara menurutku apa yang dilakukan kawan laki-laki itu sungguh sulit diterima. Itu juga pertama kali aku menyadari betapa ajaran-ajaran bagaimana menjadi perempuan tidak selalu membuat batinku nyaman dan masuk di akal. “Mengapa lebih banyak aku yang harus memahami kawan laki-lakiku ketimbang kawan laki-laki yang harusnya juga memahami perasaanku?” Melalui catatan harian itu, aku juga tetap bisa menyimpan pikiran asli (dari sudut pandangku) terhadap peristiwa itu, tanpa turut campur saran-saran bibi, yang menurutku lebih memberi pemakluman atau pemaafan pada kawanku itu. Waktu itu, tak terpikir olehku, bahwa apa yang kuhadapi saat itu akan terus kujalani dalam kehidupan selanjutnya, sebagai perempuan dewasa.
Aku tidak tahu, bila aku terlahir sebagai laki-laki, akankah aku berangkat menuju dunia kepenulisan dari peristiwa seperti itu. Dari pengalaman itu sedikitnya menulis memberi dua manfaat: Pemulihan perasaan dan mendokumentasikan pikiran/pendapat/cara pandang asli yang bersumber dari keutuhan aku. Ditambah dengan keberanian untuk menegosiasikan pikiran, maka selanjutnya aku belajar bagaimana membiarkan orang lain membaca tulisanku. Membuka ruang dialog untuk menyampaikan gagasan yang berangkat dari pengalaman batin dan tubuh perempuan (diri). ‘Membaca’ lalu mengungkap soal perkosaan, buruh migran, petani, buruh kebun teh, kombatan, eros sesama puan dari batin puan. Lalu meraciknya dengan imajinasi yang sekaligus doa atau mantra seperti yang kutulis di kumpulan cerita “Perempuan Kopi” dan puisi “Burung Burung Bersayap Air.”
Kemudian aku belajar bahwa gagasan pada “Perempuan Kopi” dan “Burung Burung Bersayap Air” tidak saja berdialog/berhadapan dengan pikiran bibiku, tetapi ragam pembaca dari yang mengharu biru berterima kasih, karena merasa gairah terkuburnya dihidupkan di cerita/puisi yang kutulis. Hingga yang cemas, dan sekiranya bisa, ingin menyunting gagasan-gagasanku, agar menjadi tulisan tentang perempuan dan penulis perempuan yang mereka harapkan. Aku berterima kasih kepada pembaca yang ulet, yang menulis ulasan di bedah buku, di blog mereka –bahkan tanpa perlu mengenalku. Seorang menuliskan “Perempuan Kopi” sebagai letusan gunung merapi yang dahsyat. Pengulas lain menuliskan kalau perempuan menulis seperti ini, waspadalah mau dibawa kemana penulisan tentang perempuan dan moral penulis perempuan. Para pengulas itu lengkap dari jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin itu tak berkorelasi apa-apa dengan pendapatnya. Sebagian penulis perempuan juga mengkhawatirkan dan menginginkan buku yang seperti kutulis sebaiknya tidak ada. Untungnya sebelum berjumpa pikiran dengan pengulas perempuan itu, aku telah berpengalaman dengan perempuan yang ingin menyunting pikiranku, yaitu bibiku.
Di luar gagasan dan perspektif tak banyak yang mengulas soal cara aku berbahasa. Tapi ada satu percakapan “Perempuan Kopi” dengan teman-teman di Semarang yang secara intensif mengulas bahasanya. Gunawan Budi Susanto, penulis dan penyunting di harian Suara Merdeka --yang kukenal Kang Putu-- yang mula-mula melihat soal itu. Yang kemudian membicangkan bagaimana aku terus berjuang untuk menggunakan bahasa yang bersumber dari keutuhanku berbahasa bukan berbahasa yang diharapkan/dikontruksi oleh gaya penulis laki-laki. Gaya yang terlanjur berabad-abad dibaca khalayak pada karya sastra dunia dan media tulisan lainnya. Istilah, pilihan kata yang rasanya hampir tak mungkin menemukan atau menggantikannya dengan pilihan kata yang lain –yang lebih bersumber pada pengalaman tubuh dan batin perempuan. Seumpama memilih diksi untuk persetubuhan daripada dengan kata “menembak,” “menggolkan,” “menghujamkan” penis ke vagina, menjadi vagina yang “melindungi” penis. Karena dalam pengetahuanku sebagai perempuan begitulah, mula-mula vagina membuka diri, lalu melindungi penis dengan kekuatan ototnya. Bila saatnya tepat dan sama-sama menghendaki --atas penerimaan-kelenturan dan kekuatan otot itu-- sperma lebih mudah keluar, berjumpa indung telur lalu menghasilkan kita – manusia. Intinya pencarian-pengembangan gagasan yang bersumber dari pengalaman-cara aku sebagai perempuan melihat, sama pentingnya dengan pendakianku dalam kendali bahasa. Bahasa yang kumau, bukan bahasa yang dimau-konstruksi yang bukan aku.
Selain soal pengembangan gagasan dan pendakian berbahasa, kadang-kadang di tengah jalan kita berjumpa kerelewelan-kerelawan yang tidak dibutuhkan: Gosip tentang kehidupan pribadi penulis yang seringkali diikuti sikap keliru untuk memberikan penilaian baik dan buruk. Seorang penulis perempuan pernah mengeluh padaku, betapa sulitnya ia menghindar. Menghindar dari perbincangan gosip para penulis. Sampai-sampai kehabisan waktu untuk membincangkan karyanya. Teman yang lain, bahkan pernah mencoba menarik perbincangan ke arah karya, tetapi gerombolannya terus membawa pada perbincangan hidup pribadi penulis yang dianggap ini dan itu. Yang seperti ini, cukup diketahui saja, tak perlu mengeluarkan banyak energi untuk menanggapinya. Realitas menjadi perempuan kecenderungannya ditentukan, diharapkan. Jika tidak memenuhi ketentuan-harapan pasangan, keluarga, masyarakat dan negara, idiologi arus utama, agama arus utama, ia akan dinilai ini itu. Kalau bisa dipengaruhi untuk kembali pada harapan arus utama. Itu realitas baru menjadi perempuan titik. Kalau menjadi perempuan penulis yang mengungkapkan pikiran dan cara berbahasanya, bertambahlah satu depa perjuangannya.
Sedikitnya dari 3 refleksi perjalanan menulis –pengembangan gagasan, bahasa, dan kerewelan-kerewelan sosial aku menyadari beberapa hal: Pertama aku sebagai puan beserta kompleksitas identitasku yang lain –anak perempuan, isteri, muslim, Sunda, pekerja kemanusiaan- akan terus bernegosiasi antara harapan-rencana-mimpiku dengan harapan arus utama terkait ragam identitas yang melekat padaku. Kadang-kadang negosiasi itu berjalan lembut dan liat, pada situasi lain aku harus seperti pendekar yang bermain pedang menghadapi tujuh lawan yang handal. Sering juga negosiasi itu terlalu klise, remeh-temeh berasal dari pikiran pendek.
Kedua negosiasi dalam mereinterpretasi peristiwa dan lalu mengolahnya-mengembangkannya menjadi tulisan. Bagaimana misalnya aku bermain dengan tokoh aku (puan Aceh) pada cerita “Palang Bambu Daun Sirih.” Aku yang mata-mata dari pihak yang bercita-cita memerdekakan Aceh sekaligus juga manusia yang jatuh cinta pada komandan tentara yang harus ia hancurkan. Aku yang tak ingin ditentukan suami yang bercita-cita Aceh merdeka dan abang komandan yang bercita-cita menghalangi kemerdekaan itu. Aku yang akan tentukan kemana perasaan, biduk rumah tangga, dan Aceh tanah tersayang dibawa. Bagaimana bahwa aku sebagai puan punya pikiran yang tidak biner diantara hitam dan putih, diantara setiap keyakinan arus utama. Negosiasi untuk melepaskan mantel patriarkis yang sering dipakai oleh keyakinan manapun dari yang paling kiri hingga yang paling kanan. Dari yang paling sosialis hingga kapitalis. Yang dapat mewujud di tempat tidur dengan kekasih, di dalam rumah bersama keluarga, di bedah buku dan peraturan-peraturan negara-politik ekonomi dunia. Pertempuhan ini memang lelah, tapi tempaan membuatnya lebih mudah. Dan bukankah tak ada perjalanan menulis yang lebih mendebarkan selain menulis yang sejujur-jujurnya lahir dari pikiran kita yang merdeka?
Ketiga, aku perlu terus melatih diri, tetap tenang dan jernih bila dinegasikan dengan tuntutan-tuntutan dunia biner-patriarkis dan hierarkis seperti: Dinilai berdasarkan ukuran arus utama yang berpusat pada logik berpikir yang tak ramah puan; diperbandingkan dengan sesama penulis perempuan dengan intensi ‘yang ini kurang memenuhi yang itu yang memenuhi’ (jebakan kontrol paling klise); dianggap gagasan kita tak bermoral. Walaupun tidak apa-apa juga, karena bagiku menulis bukan untuk memandu pembaca pada yang baik dan benar, menulis bagiku mengeksplor rasa dan karsa kemanusiaan, berjumpa dengan sebanyak ragam manusia untuk merenangi palung hatinya sejauh aku bisa
[1] Ditulis untuk Diskusi Publik & Pentas Seni “Perempuan dalam Pandangan Pengarang Indonesia” yang diselenggarakan Forum Lingkar Pena, Majelis Kantiniah, BEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangga radio.com, Kolekan & Postar, pada 25 November 2014.
[2] Menulis puisi, cerita, esai, liputan dan dokumentasi. Buku-bukunya Burung Burung Bersayap Air (puisi), Perempuan Kopi (cerita), Di Atas Kaki Sendiri (dokumentasi Ahmadiyah) & Akses Perempuan pada i Keadilan (dokumentasi penyintas puan di Jawa & Sumatera).
Admin hetan autorizasaun husi nain nebe hakarek barak ona kona ba aikanonik no poezia. espera bele fo motivasaun no inspirasaun ba sani nain sira. Obrigado
Tulisan serial pertamaku adalah catatan harian yang kusembunyikan diantara buku pelajaran, waktu kelas 4 sekolah dasar. Kusebut serial, karena catatan harian itu terus kutulis hingga sekolah menengah. Catatan itu berisi kekecewaanku pada kawan sebaya laki-laki yang datang ke rumah dalam keadaan mabuk untuk menyatakan cinta. Sejak itu aku merasa menulis cara terampuh untuk mengatasi perasaan. Termasuk perasaanku yang tidak sependapat dengan bibi yang mengajarkan untuk bersikap sopan dan sabar menolak perasaan cinta pada laki-laki. Sementara menurutku apa yang dilakukan kawan laki-laki itu sungguh sulit diterima. Itu juga pertama kali aku menyadari betapa ajaran-ajaran bagaimana menjadi perempuan tidak selalu membuat batinku nyaman dan masuk di akal. “Mengapa lebih banyak aku yang harus memahami kawan laki-lakiku ketimbang kawan laki-laki yang harusnya juga memahami perasaanku?” Melalui catatan harian itu, aku juga tetap bisa menyimpan pikiran asli (dari sudut pandangku) terhadap peristiwa itu, tanpa turut campur saran-saran bibi, yang menurutku lebih memberi pemakluman atau pemaafan pada kawanku itu. Waktu itu, tak terpikir olehku, bahwa apa yang kuhadapi saat itu akan terus kujalani dalam kehidupan selanjutnya, sebagai perempuan dewasa.
Aku tidak tahu, bila aku terlahir sebagai laki-laki, akankah aku berangkat menuju dunia kepenulisan dari peristiwa seperti itu. Dari pengalaman itu sedikitnya menulis memberi dua manfaat: Pemulihan perasaan dan mendokumentasikan pikiran/pendapat/cara pandang asli yang bersumber dari keutuhan aku. Ditambah dengan keberanian untuk menegosiasikan pikiran, maka selanjutnya aku belajar bagaimana membiarkan orang lain membaca tulisanku. Membuka ruang dialog untuk menyampaikan gagasan yang berangkat dari pengalaman batin dan tubuh perempuan (diri). ‘Membaca’ lalu mengungkap soal perkosaan, buruh migran, petani, buruh kebun teh, kombatan, eros sesama puan dari batin puan. Lalu meraciknya dengan imajinasi yang sekaligus doa atau mantra seperti yang kutulis di kumpulan cerita “Perempuan Kopi” dan puisi “Burung Burung Bersayap Air.”
Kemudian aku belajar bahwa gagasan pada “Perempuan Kopi” dan “Burung Burung Bersayap Air” tidak saja berdialog/berhadapan dengan pikiran bibiku, tetapi ragam pembaca dari yang mengharu biru berterima kasih, karena merasa gairah terkuburnya dihidupkan di cerita/puisi yang kutulis. Hingga yang cemas, dan sekiranya bisa, ingin menyunting gagasan-gagasanku, agar menjadi tulisan tentang perempuan dan penulis perempuan yang mereka harapkan. Aku berterima kasih kepada pembaca yang ulet, yang menulis ulasan di bedah buku, di blog mereka –bahkan tanpa perlu mengenalku. Seorang menuliskan “Perempuan Kopi” sebagai letusan gunung merapi yang dahsyat. Pengulas lain menuliskan kalau perempuan menulis seperti ini, waspadalah mau dibawa kemana penulisan tentang perempuan dan moral penulis perempuan. Para pengulas itu lengkap dari jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Jenis kelamin itu tak berkorelasi apa-apa dengan pendapatnya. Sebagian penulis perempuan juga mengkhawatirkan dan menginginkan buku yang seperti kutulis sebaiknya tidak ada. Untungnya sebelum berjumpa pikiran dengan pengulas perempuan itu, aku telah berpengalaman dengan perempuan yang ingin menyunting pikiranku, yaitu bibiku.
Di luar gagasan dan perspektif tak banyak yang mengulas soal cara aku berbahasa. Tapi ada satu percakapan “Perempuan Kopi” dengan teman-teman di Semarang yang secara intensif mengulas bahasanya. Gunawan Budi Susanto, penulis dan penyunting di harian Suara Merdeka --yang kukenal Kang Putu-- yang mula-mula melihat soal itu. Yang kemudian membicangkan bagaimana aku terus berjuang untuk menggunakan bahasa yang bersumber dari keutuhanku berbahasa bukan berbahasa yang diharapkan/dikontruksi oleh gaya penulis laki-laki. Gaya yang terlanjur berabad-abad dibaca khalayak pada karya sastra dunia dan media tulisan lainnya. Istilah, pilihan kata yang rasanya hampir tak mungkin menemukan atau menggantikannya dengan pilihan kata yang lain –yang lebih bersumber pada pengalaman tubuh dan batin perempuan. Seumpama memilih diksi untuk persetubuhan daripada dengan kata “menembak,” “menggolkan,” “menghujamkan” penis ke vagina, menjadi vagina yang “melindungi” penis. Karena dalam pengetahuanku sebagai perempuan begitulah, mula-mula vagina membuka diri, lalu melindungi penis dengan kekuatan ototnya. Bila saatnya tepat dan sama-sama menghendaki --atas penerimaan-kelenturan dan kekuatan otot itu-- sperma lebih mudah keluar, berjumpa indung telur lalu menghasilkan kita – manusia. Intinya pencarian-pengembangan gagasan yang bersumber dari pengalaman-cara aku sebagai perempuan melihat, sama pentingnya dengan pendakianku dalam kendali bahasa. Bahasa yang kumau, bukan bahasa yang dimau-konstruksi yang bukan aku.
Selain soal pengembangan gagasan dan pendakian berbahasa, kadang-kadang di tengah jalan kita berjumpa kerelewelan-kerelawan yang tidak dibutuhkan: Gosip tentang kehidupan pribadi penulis yang seringkali diikuti sikap keliru untuk memberikan penilaian baik dan buruk. Seorang penulis perempuan pernah mengeluh padaku, betapa sulitnya ia menghindar. Menghindar dari perbincangan gosip para penulis. Sampai-sampai kehabisan waktu untuk membincangkan karyanya. Teman yang lain, bahkan pernah mencoba menarik perbincangan ke arah karya, tetapi gerombolannya terus membawa pada perbincangan hidup pribadi penulis yang dianggap ini dan itu. Yang seperti ini, cukup diketahui saja, tak perlu mengeluarkan banyak energi untuk menanggapinya. Realitas menjadi perempuan kecenderungannya ditentukan, diharapkan. Jika tidak memenuhi ketentuan-harapan pasangan, keluarga, masyarakat dan negara, idiologi arus utama, agama arus utama, ia akan dinilai ini itu. Kalau bisa dipengaruhi untuk kembali pada harapan arus utama. Itu realitas baru menjadi perempuan titik. Kalau menjadi perempuan penulis yang mengungkapkan pikiran dan cara berbahasanya, bertambahlah satu depa perjuangannya.
Sedikitnya dari 3 refleksi perjalanan menulis –pengembangan gagasan, bahasa, dan kerewelan-kerewelan sosial aku menyadari beberapa hal: Pertama aku sebagai puan beserta kompleksitas identitasku yang lain –anak perempuan, isteri, muslim, Sunda, pekerja kemanusiaan- akan terus bernegosiasi antara harapan-rencana-mimpiku dengan harapan arus utama terkait ragam identitas yang melekat padaku. Kadang-kadang negosiasi itu berjalan lembut dan liat, pada situasi lain aku harus seperti pendekar yang bermain pedang menghadapi tujuh lawan yang handal. Sering juga negosiasi itu terlalu klise, remeh-temeh berasal dari pikiran pendek.
Kedua negosiasi dalam mereinterpretasi peristiwa dan lalu mengolahnya-mengembangkannya menjadi tulisan. Bagaimana misalnya aku bermain dengan tokoh aku (puan Aceh) pada cerita “Palang Bambu Daun Sirih.” Aku yang mata-mata dari pihak yang bercita-cita memerdekakan Aceh sekaligus juga manusia yang jatuh cinta pada komandan tentara yang harus ia hancurkan. Aku yang tak ingin ditentukan suami yang bercita-cita Aceh merdeka dan abang komandan yang bercita-cita menghalangi kemerdekaan itu. Aku yang akan tentukan kemana perasaan, biduk rumah tangga, dan Aceh tanah tersayang dibawa. Bagaimana bahwa aku sebagai puan punya pikiran yang tidak biner diantara hitam dan putih, diantara setiap keyakinan arus utama. Negosiasi untuk melepaskan mantel patriarkis yang sering dipakai oleh keyakinan manapun dari yang paling kiri hingga yang paling kanan. Dari yang paling sosialis hingga kapitalis. Yang dapat mewujud di tempat tidur dengan kekasih, di dalam rumah bersama keluarga, di bedah buku dan peraturan-peraturan negara-politik ekonomi dunia. Pertempuhan ini memang lelah, tapi tempaan membuatnya lebih mudah. Dan bukankah tak ada perjalanan menulis yang lebih mendebarkan selain menulis yang sejujur-jujurnya lahir dari pikiran kita yang merdeka?
Ketiga, aku perlu terus melatih diri, tetap tenang dan jernih bila dinegasikan dengan tuntutan-tuntutan dunia biner-patriarkis dan hierarkis seperti: Dinilai berdasarkan ukuran arus utama yang berpusat pada logik berpikir yang tak ramah puan; diperbandingkan dengan sesama penulis perempuan dengan intensi ‘yang ini kurang memenuhi yang itu yang memenuhi’ (jebakan kontrol paling klise); dianggap gagasan kita tak bermoral. Walaupun tidak apa-apa juga, karena bagiku menulis bukan untuk memandu pembaca pada yang baik dan benar, menulis bagiku mengeksplor rasa dan karsa kemanusiaan, berjumpa dengan sebanyak ragam manusia untuk merenangi palung hatinya sejauh aku bisa
[1] Ditulis untuk Diskusi Publik & Pentas Seni “Perempuan dalam Pandangan Pengarang Indonesia” yang diselenggarakan Forum Lingkar Pena, Majelis Kantiniah, BEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangga radio.com, Kolekan & Postar, pada 25 November 2014.
[2] Menulis puisi, cerita, esai, liputan dan dokumentasi. Buku-bukunya Burung Burung Bersayap Air (puisi), Perempuan Kopi (cerita), Di Atas Kaki Sendiri (dokumentasi Ahmadiyah) & Akses Perempuan pada i Keadilan (dokumentasi penyintas puan di Jawa & Sumatera).
Admin hetan autorizasaun husi nain nebe hakarek barak ona kona ba aikanonik no poezia. espera bele fo motivasaun no inspirasaun ba sani nain sira. Obrigado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar