Senin, April 16, 2012
Reflesaun ba 17 de Abril
Quim R. Brites
Loron ohin iha fatin ida ne’e ami hamrik, laiha mataben, laiha halerik no laiha sentimento hanesan uluk.
Iha fatin ida ne’e ami relembra fali masakre 17 de Abril 1999. Hanoin hika’as ema sira nebe saran sira nia an sai lutu ba ema barak nia hakarak, hamrik hodi fo sira nia an ba ema lubun nebe mai hamahan iha sira nia fatin.
Iha fatin ida ne’e ami mai ho lilin oan ida hanesan tradisaun uma kreda nia hodi sunu no fo naroman ba matebian sira atu moris iha naroman maromak nia. Lilin hanesan sinal naroman ba sira maske justisa sei iha nakukun nia laran.
Iha fatin ida ne’e ami mai atu harohan ba Maromak, atu nune’e fo roman no simu sira iha maromak nia knuana, ami fiar katak sira nia sakrifisio bot liu hodi selu sira nia sala iha moris lor-loron nia.
Iha loron ida ne’e ami mai hamrik iha fatin ida ne’e, ho silensio tebes, hodi hanoin hi’kas tinan sanolu resin tolu nia laran justisa mate no laiha is iha rai doben ne’e. Justisa hanesan mos martires sira nebe ema oho no hakoi hamutuk iha kasaun ida no hakoi mos hamutuk iha ku’ak ida nia laran.
Iha loron ida ne’e ami mai hamrik hadulas iha Posu be nia, nebe iha tempo neba tinan sanolu resin tolu ba kotuk ema milisia no militer Indonesia sira uza hodi soe isin martires sira hamutuk sanolu resin rua iha fatin ida ne’e. Maibe ami mai mos ho objetivu seluk, atu hare karik Justisa mos milisia no military sira soe hamutuk ho martires sira, tamba tinan naruk nia laran ami husu ho hakraik an Justisa nunka rona no hakarak hamutuk ho ami.
Iha fatin ida ne’e ami relembra hikas ami nia Nai ulun sira nebe ukun ami iha tinan 10 nia laran. Ami nia prezidente da Republika 20 de maio 2002 nia nebe ema luta nain no dadur mos iha ema nia ukun, nia deklarasaun ba nasaun nunka mais hakarak atu justisa ne mosu iha timor ba nia diak liu amizade duke halo justisa pasado. Tuir fali ami nia Prezidente da Republika nebe mos Diplomata internasional konyesidu iha mundo no simu nobel da paz tamba sofremento povo Timor nia iha nia tempo nia Deklara katak justisa mak hetan ona ukun an. Ba Prezidente nain rua ne’e ami sei sisi nafatin sira nia lia fuan iha loron ikus hodi nune’e sira atu responsabiliza ba martires sira.
Oin iha fatin ida ne’e ami mai atu fo hatene mos ba martires sira, katak horseik Povo Timor Leste susesu halo votasaun ba sira nia Preziente da Republika foun. Iha fatin ida ne’e mos ami fo hatene ba martires sira katak durante iha sira nia kampanhe sira nein hakarak atu koalia kona ba justisa.
Tamba ne’e iha fatin ida ne’e ami sei hateten katak dalan ba justisa sei naruk, sei hasoru fatuk no ai, laloran tasi, no anin fuik nebe hein hela ita iha oin…
Maibe martires sira, ami sei nafatin hakilar, haka’as an no buka subu anin nebe sa’tan iha oin. Maske nei-neik maibe lia los loron ikus sei manan……..Dai-lhe senhor o eterno descanso………………………………
Dili, 17 de Abril 2012.
Minggu, April 08, 2012
Tentang perang dan Timor 1975 (Mari Jujur….)
Jun25 by suciptoardi
Jika peristiwa di Timor tahun 1975 sesuai dengan gambaran dalam film Balibo, maka yang terjadi di sana adalah penyerbuan yang ketidakadilannya berlipat-lipat. Michael Walzer dalam bukunya Just and Unjust Wars, dengan komprehensif membahas tentang perang, lengkap dengan contoh-contohnya.
Sayangnya, penyerbuan Indonesia ke Timor tahun 1975 tak termasuk bahasan Walzer. Saya bisa memaklumi tiadanya bahasan soal Timor. Tulisan itu memang secara khusus digerakkan oleh aktivisme atas situasi di Vietnam, sedangkan ditulisnya saja selesai pada 1977. Saya yakin saat itu peristiwa Timor tenggelam di bawah ramai-ramai Perang Vietnam, dan secara sengaja pula ditenggelamkan oleh komplotan–ya, komplotan, bukan hanya Indonesia saja–negara-negara pelaku dan penyokong penyerbuan.
Untuk melihat adil tidaknya suatu perang, secara garis besar ada dua hal yang jadi referensi. Yang pertama, jus ad bellum, yakni alasan berperang. Yang kedua, jus in bello, yakni cara-cara yang digunakan dalam berperang. Bisa saja satu agresi tidak dengan alasan yang valid, atau tidak adil jika dilihat dari jus ad bellum. Tapi bisa juga alasan agresinya valid, namun tak memakai cara berperang sesuai konvensi, dengan kata lain, tak adil jika dilihat dari sudut pandang jus in bello.
Perang yang terjadi di Timor tahun 1975, bagi saya sudah jelas tidak memiliki dasar yang jelas. Kalau saya tidak salah, versi pemerintah mengatakan kalau serangan itu dilakukan karena ada faksi Timor-Timur yang meminta bergabung dengan Indonesia, sedangkan faksi lain, yang jelas paling besar, Fretilin, menghendaki kemerdekaan. Yang diketahui warga Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto saat itu, tentara telah menyelamatkan Timor-Timur dari perang saudara. Indonesia adalah “pahlawan” dan “pengayom” rakyat Timor, tanpa menyebutkan proses heroik dan mengayomi itu terjadi melalui pembunuhan lebih dari seratus ribu orang.
Kembali ke soal alasan perang, tentu saja sebuah negara tidak bisa menganeksasi sebuah wilayah hanya karena–katakanlah–seratus orang penduduknya memintanya. Terkecuali jika ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara pada rakyatnya, negara lain tak bisa melakukan agresi dalam rangka humanitarian intervention. Dengan demikian, alasan Indonesia merespon salah satu faksi Timor itu tidak tidak valid. Penyerangan 1975 sama sekali tidak adil atau benar, jika dilihat dari jus ad bellum.
Jika memakai kategori kedua, Indonesia lebih tak punya muka lagi. Pertama, aturan dalam perang yang sudah jelas: tentara harus melawan tentara. Yang disebut tentara tentu saja lengkap dengan perangkatnya: seragam dan senjata. Dalam film Balibo, kita bisa melihat adegan di mana personil ABRI mengganti seragamnya dengan pakaian sipil, mungkin dengan tujuan untuk mengecoh gerilyawan. Itu saja sudah salah.
Aturan lainnya juga jelas: tidak boleh menyerang apalagi membunuh rakyat sipil. Tapi di Dili dan daerah Timor lain, darah rakyat sipil membanjiri tanah. Di antara rakyat sipil memang ada gerilyawan, dan taktik gerilyawan memang membaur di tengah-tengah rakyat sipil. Tetapi kita bisa membedakannya dari senjata. Gerilyawan tentulah bersenjata. Lagipula, dalam perang antara dua tentara terorganisasi pun (artinya bukan gerilyawan) kita tak boleh membunuh mereka yang menyatakan menyerah ataupun tentara tanpa senjata. Perang ini, jelas jauh dari pantas, benar, apalagi adil.
Soal lain yang mengganggu pikiran saya, apakah darah orang Timor hanya milik pemerintah dan tentara Indonesia? Bagi saya, jelas tidak. Yang pertama, Australia, negara tetangga Timor ini juga punya andil. Pemerintah negara ini membiarkan ratusan ribu tetangganya mati dalam penyerangan. Tapi baiklah. Kita semua mafhum kalau Australia tidak punya cukup keberanian menghadapi Indonesia. Dengan sumber daya militer yang jauh di bawah Indonesia, mereka tak mungkin berani. Apalagi di belakang Indonesia ada Amerika Serikat.
Amerika Serikat? Ya, Amerika Serikat. Gerilyawan yang mengawal jurnalis Roger East di film itu berkata, “Dari mana Indonesia bisa membeli helikopter mahal dari Amerika itu?” Tentu saja itu sokongan Amerika Serikat yang ketakutan pada Fretilin yang komunis. Kedua negara yang alergi dengan komunisme ini, Indonesia dan Amerika, tak mau ada negara baru komunis yang nantinya masuk Blok-Timur. Indonesia dalam hal ini, mengorbankan semangat dan prinsip antikolonialisme yang dirayakan dalam Konferensi Asia Afrika. Juga mengingkari prinsip bebas-aktif yang digembar-gemborkannya sendiri, dengan gerakan non-bloknya.
Lalu sekarang, dengan seabrek kejahatan dan kepengecutan itu, kita mau mengingkari dan menutup-nutupi kebenaran? Bagi saya, itu berarti mencederai semangat liberasi yang kita perjuangkan melalui reformasi dan dilanjutkan dengan pembebasan Timor-Timur, yang sudah lebih dari sepuluh tahun kita lalui. Jika kita terus-menerus menolak untuk jujur pada diri sendiri, saya membayangkan korban Balibo dan lainnya akan selalu menghantui pendidikan demokrasi kita.
Sumber: Jurnalida
Kunjungan Tiga Presiden Amerika Serikat dan Sejarah Indonesia
Jun25 by suciptoardi
Kunjungan selalu mempunyai arti penting dalam konteks kepentingan yang berkunjung dan yang dikunjungi. Bagi presiden dan orang-orang dekatnya, gambaran kunjungan itu bisa tampak jelas dan rinci. Namun, masyarakat biasa hanya bisa mencatat, setiap kunjungan selalu mempunyai signifikansinya sendiri-sendiri, setidak-tidaknya secara garis besar.
Nixon dan Pepera
Kunjungan Nixon ke Indonesia, 27-28 Juli 1969, penting karena dua perkara. Pertama, Nixon perlu menjelaskan rencana AS mengubah strateginya untuk Asia, yang dikenal dengan Doktrin Guam atau Doktrin Nixon (Juli 1969). Doktrin itu menegaskan AS akan sedikit demi sedikit mengurangi kehadiran militernya di Asia dan meminta negara-negara Asia menanggung beban keamanannya sendiri (“Asianisasi Asia”). Misalnya, Nixon sering menyebut rencana penarikan mundur (withdrawal) dari Vietnam.
Kedua, Indonesia dan AS berkepentingan menuntaskan masalah Irian Barat. Juli dan Agustus 1969 itu sedang berlangsung Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) oleh PBB. Pada dasarnya AS mendukung integrasi Irian Barat ke Indonesia karena AS ingin terus menjalin hubungan dengan Soeharto yang waktu itu dianggap sebagai seorang “moderate military man … committed to progress and reform” dan “walau nonblok tetapi dekat dengan Washington”.
Kendati Penasihat Keamanan Henry Kissinger mengingatkan agar Nixon tidak membahas isu Pepera, kehadiran Nixon ke Indonesia “bicara” jelas tentang dukungan AS terhadap kebijakan Indonesia tentang Irian Barat. Kemudian AS juga mengisyaratkan tidak mau terlibat debat berlama-lama tentang Pepera dan cenderung mengusahakan integrasi tersebut segera diterima Majelis Umum PBB secara formal.
Ford dan Operasi Seroja
Kunjungan Ford ke Jakarta pada 4-5 Desember 1975 berada pada situasi menjelang serangan tentara Indonesia ke Timor Timur. Secara garis besar, kunjungan Ford itu adalah untuk merestui aneksasi Timor Timur. Dalam situasi dan logika Perang Dingin, Timor Timur secara strategis dianggap paling masuk akal dimasukkan ke Indonesia daripada masuk satelitnya Uni Soviet atau RRC. Apalagi suasana Perang Dingin hari-hari itu masih sangat terasa menyusul kekalahan pasukan AS di Indochina dan adanya kekhawatiran berlakunya teori Domino di kawasan Asia Tenggara.
Dua hari setelah kunjungan Ford itu, pasukan Indonesia memasuki Timor Timur dengan Operasi Seroja (7 Desember 1975). Karena itu, secara jelas dan simbolik, kunjungan tersebut menunjukkan AS dan sekutu-sekutu Barat-nya pada waktu itu mendukung dan merestui integrasi Timor Timur ke Indonesia.
Reagan dan HAM
Kunjungan Reagan ke Bali (29 April-2 Mei 1986) dalam rangka KTT ASEAN. Kunjungan ini berada dalam suasana Indonesia sedang dicerca dunia karena pelanggaran HAM. Ada Operasi Rahasia menangkapi secara rahasia para penjahat (Operasi Petrus), penangkapan aktivis pengkritik pemerintah, penangkapan dan penolakan wartawan asing, serta kebijakan-kebijakan represif berlebihan pemerintah atas rakyatnya di banyak tempat, terutama di Timor Timur.
Kunjungan Reagan ke Bali dimanfaatkan untuk memberikan dukungan kepada pemerintahan Soeharto kendati dipandang dunia sebagai tidak demokratis dan melanggar HAM. Bahkan, menjelang kunjungan itu, Pemerintah Indonesia masih berani menangkap beberapa wartawan asing yang dikenal kritis terhadap Indonesia.
Sayangnya, kunjungan Reagan di Bali itu kurang mendapatkan porsi liputan media massa karena ada peristiwa penting di luar Indonesia yang tiba-tiba terjadi, yaitu kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl, Uni Soviet. Karena Uni Soviet waktu itu masih menjadi musuh bebuyutan AS, Reagan kemudian jauh lebih sibuk memberikan pernyataan tentang kecelakaan itu daripada tentang Indonesia.
Clinton dan Deklarasi Bogor
Kunjungan Clinton ke Jakarta dan Bogor (13-16 November 1994) dilakukan dalam rangka KTT APEC. Untuk menjadikan menarik dan dikenang sejarah, Indonesia merancang suatu deklarasi tentang kesepakatan pasar bersama APEC dengan jadwal 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara sedang berkembang.
Kini tercatat aneh, Deklarasi Bogor itu justru disponsori oleh Indonesia, anggota APEC yang tampilan ekonominya paling rendah dan paling rentan terhadap dampak liberalisasi itu. Mungkin wajar kalau prakarsa itu datang dari Jepang atau Singapura atau Korea Selatan yang sudah jauh lebih siap dengan pasar bebas bersama.
Agaknya pengaruh adidaya atas Indonesia sangat menentukan langkah Pemerintah Indonesia saat itu, sampai-sampai hanya agar Clinton mau datang, Pemerintah Indonesia mengabaikan kepentingan nasional yang lebih konkret. Penjagaan ketat pasukan keamanan AS terhadap presidennya sudah menimbulkan kritik dan protes pada waktu itu. Tentara AS secara mencolok terlihat mengamankan presidennya sendiri dan mengabaikan pasukan keamanan tuan rumah.
Sumber: Unisosdem
Autralia “Srigala Berbulu Domba” di Timor Leste
Jun25 by suciptoardi
Australia sangat berambisi untuk ‘menguasai’ Timor Leste. Apa yang membuat Australia begitu bernafsu? Tak lain adalah kepentingan Australia untuk menguasai Celah Timor yang kaya akan minyak dan gas. Upaya Australia untuk menguasai Celah Timor ini karena nilai tambang yang dihasilkan diperkirakan sebesar USD 10 trilyun. Aussie, sebutan ‘gaul’ untuk Australia, berupaya bernegosiasi dengan pemerintah Portugis. Negosiasi tersebut ‘gagal’ karena Portugis tidak mau mengikuti ‘kemauan’ Aussie dan menilai perjanjian yang akan dihasilkan lebih banyak menguntung Aussie semata. Hal ini ditambah lagi dengan perubahan politik di Portugis yang cenderung kiri serta berlarutnya proses negosiasi membuat Aussie mencari alternatif baru.
Kegagalan AS dan sekutunya (termasuk Aussie) pada perang Vietnam serta ketakutan akan pengaruh komunis di Asia Tenggara, dilihat Aussie sebagai ‘peluang’ lain untuk menguasai Celah Timor. Aussie ‘melihat’ Indonesia sebagai negara yang pas untuk ‘dikerjain’ dan diperkirakan mau mengikuti kemauan Aussie untuk menguasai Celah Timor. Apalagi hubungan Indonesia dengan negara-negara ‘barat’ termasuk Aussie sedang menghangat. PM Aussie pada waktu itu, Gough Whitlam, memiliki hubungan erat dengan para pemimpin Jakarta, memanfaatkan kesempatan ini dengan ‘mendorong’ Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan di Timor Portugis. Sebenarnya, Indonesia tidak begitu tertarik dengan rencana untuk pengambil alihan kekuasaan di Timor Portugis. Dalam berbagai kesempatan, Indonesia menyatakan tidak ingin mencari kekuasaan di luar wilayah bekas koloni Belanda, yang secara eksplisit merujuk pada wilayah Timor Portugis. Dalam beberapa pertemuan antara pejabat tinggi Indonesia dengan Aussie, mereka menyatakan bahwa pendirian negara Timor Portugis tidak layak serta mengancam stabilitas keamanan regional. Ancaman akan bahaya komunis ternyata ‘termakan’ oleh para pemimpin Indonesia yang memang sangat phobia dengan komunis.
Padahal Aussie sebenarnya punya peluang masuk langsung ke Timor Portugis pada waktu itu. Berdirinya partai ADITLA (Associacao Democratica da Integraciao de Timor Leste a Australia/Asosiasi Integrasi Demokratis Rakyat Timor ke Australia) sebenarnya dapat dimanfaatkan Aussie. Karena ‘kegagalan’ pada perang Vietnam yang menumbuhkan semangat anti perang pada waktu itu serta opsi mendorong Indonesia mengambil alih Timor Portugis terlihat lebih menguntungkan, membuat Aussie menolak usulan ADITLA. Partai tersebut akhirnya membubarkan diri.
Di awali dengan operasi intelijen bersandi ‘Komodo’ yang bertujuan untuk pembentukan serta memperkuat opini agar berintegrasi dengan Indonesia, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia resmi mengambil alih kekuasaan Timor Portugis dan merubahnya menjadi Timor Timur.
Ternyata perundingan dengan Indonesia tidak mudah sebagaimana perkiraan sebelumnya. Perundingan yang berlarut – larut serta pemaksaan kehendak Aussie, membuat Indonesia setengah hati untuk meneruskan perundingan. Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia baru ditanda tangani pada tanggal 11 Desember 1989. Dari dalam negeri Indonesia, perjanjian tersebut banyak dikecam karena lebih menguntungkan Australia serta keterlibatan keluarga Cendana, yang dianggap sebagai imbalan atas perjanjian tersebut.
Aussie tampak low-profile dalam masalah Celah Timor dan membiarkan Indonesia ‘berdarah-darah’ di dunia internasional. Bahkan secara terbuka Aussie ‘menyerang’ Indonesia atas berbagai pelanggaran HAM, terutama pada peristiwa Dili tanggal 12 November 1991. Australia dengan sengaja melindungi warga Tim-Tim yang mengungsi. Selain itu, secara aktif mendorong aksi-aksi penuntutan kemerdekaan bagi warga Tim-Tim. Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia praktis tidak berlaku semenjak Tim-Tim memisahkan diri dari Indonesia. Seharusnya dengan tidak berlakunya perjanjian tersebut, pihak Australia harus menghentikan produksinya, akan tetapi Aussie tetap produksi.
Ambisi Aussie untuk menguasai Celah Timor sangat terlihat dengan melakukan pendekatan yang sangat intensif dengan berbagai pemimpin Timor Leste. Belang Australia, yang selama ini terlihat ‘membela’ rakyat Timor Leste, terbuka ketika pada hari kemerdekaan Timor Leste tanggal 20 Mei 2002, Australia dan Timor Leste segera menanda tangani penanganan Celah Timor. Perjanjian tersebut menyebutkan bahwa 90 persen bagian dari total hasil penguasaan tambang di kawasan operasi bersama di ladang Bayu-Undan untuk Timor Leste, sedangkan 10 persen lagi untuk Australia. Memang perjanjian tersebut terlihat ‘menguntungkan’ Timor Leste, namun Aussie secara licik tidak memasukkan ladang Greater Sunrise dan Laminaria-Corallina, yang hasil tambangnya jauh lebih banyak (diperkirakan 3 sampai 7 kali lipat) dari ladang Bayu-Undan. Ladang Greater Sunrise dan Laminaria-Corallina berada di wilayah, yang seharusnya Timor Leste juga mendapatkan bagian. Diperkirakan Aussie sudah menangguk untung sebesar satu miliar dollar Australia dari kedua ladang itu.
Merasa ada ketimpangan yang menyolok dari perjanjian tersebut, PM Timor Leste pada waktu itu, Mari Alkatiri bersuara keras dan mendesak untuk merevisi perjanjian Celah Timor. Dan untuk mendukung revisi perjanjian tersebut, Presiden Xanana Gusmao mengajukan batas landas kontinen ke arbitrase internasional. Dengan pengajuan ini, diharapkan Timor Leste dapat memperoleh keuntungan yang selama ini dinikmati oleh Australia.
Tapi upaya pengajuan batas landas kontinen yang diajukan pada tahun 2006 dianggap terlambat. Aussie sudah mengantisipasi masalah tersebut, dimana pada saat penanda tanganan perjanjian Celah Timor, opsi penyelesaian sengketa perbatasan melalui arbitrase internasional telah dihapus dan pihak Timor Leste tidak menyadari hal tersebut.
Pada April 2004, Presiden Xanana Gusmao di depan peserta konferensi negara-negara donor untuk Timor Leste, mengeluhkan Aussie yang dianggap ‘mencuri’ uang rakyat Timor Leste. Australia langsung meradang mendengar tuduhan ini. Menlu Alexander Downer menyebut Xanana ‘tidak tahu diuntung’ dan menyebutkan ‘jasa’ Australia yang telah memberikan porsi besar atas lading Banyu-Undan serta bantuan senilai 170 juta dolar Australia kepada Timor Leste.
Dengan tindakan seperti itu, Aussie rasanya pantas dijuluki ‘srigala berbulu domba’…
Sumber: Hansip
Timor-Timur: Pra Integrasi
Jun25 by suciptoardi
Timor Portugis adalah nama resmi daerah Timor Timur sebelum integrasi dengan Indonesia. Bangsa Portugis tercata sebagai bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di daerah Timor-Timur dan terus mempertahankan kehadirannya sampai pada tahun 1702, daerah ini di deklarasikan sebagai koloni Portugis. Pada awal kedatangannya adalah untuk berdagang, dimana daerah ini merupakan penghasil sandalwood dan kopi, namun kemudian mencoba menguasainya. Daerah ini merupakan satu-satunya daerah yang tidak dikuasai oleh colonial Belanda, yang menguasai sebagian besar daerah Indonesia lainnya selama 3 abad.
Portugis memperkenalkan banyak hal pada masyarakat Timor Timur, seperti sistem pajak, tentara bayaran dan sistem perburuan rusa dan menjadi salah satu barang ekspor, selain sandalwood dan kopi. Di bidang sosial, Portugis memperkenalkan agama katolik, sistem penulisan romawi, teknik percetakan dan sekolah formal, meskipun dengan jumlah sekolah terbatas dan hanya orang-orang tertentu saja yang dapat pendidikan tersebut. Portugis juga memperkenalkan pembagian ‘kasta’: kelompok Portugis dan kelompok Portugis Asia. Bahasa yang digunakan pada kegiatan formal adalah bahasa Portugis dan bahasa Melayu.
Pada saat deklarasi sebagai koloni Portugis, ibu kota Timor Portugis adalah Lifau. Ibu kota tersebut kemudia pindah ke Dili pada tahun 1767, karena adanya penyerangan dari Belanda, yang telah menguasai sebagian Pulau Timor sebelah barat. Perjanjian perbatasan antara Timor Portugis dengan colonial Belanda ditandatangani pada tahun 1859, yang dikenal dengan nama Treaty of Lisbon. Pada tahun 1913, Portugis dan Belanda secara formal membagi Pulau Timor. Penegasan perjanjian perbatasan dipertegas lagi pada perundingan antara Portugis dan Belanda di Den Hague pada tahun 1916. Di kemudian hari, perjanjian perbatasan yang ditanda tangani di Den Hague inilah menjadi dasar perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.
Portugis sangat mengeruk kekayaan alam Timor, namun tidak memberikan imbal balik pada bangsa Timor Portugis. Pembangunan infrastruktur, kesehatan dan pendidikan sangat minimal. Sampai tahun 1973, jumlah pendduk yang ‘melek huruf’ tidak lebih dari 7% dari total penduduk Timor Portugis. Oleh karena itu, sangat mengherankan bila Portugis mengaku sebagai ‘pahlawan’ dalam pembangunan Timor Timur.
Pada awal abad dua puluh, Portugis mulai membagi sedikit demi sedikit keuntungan ekonomi atas ekspor Timor Portugis, yang telah dinikmati lebih dari dua abad sebelumnya. Pembagian ‘sedikit’ keuntungan tersebut menyebabkan masyarakat Timor Portugis sadar atas keuntungan yang dinikmati oleh Portugis. Mereka pun menuntut lebih atas ‘keuntungan’ yang diperoleh Portugis, namun ditolak. Pada tahun 1910 sampai 1912, terjadi pemberontakan namun berhasil dipadamkan. Para pemberontak ini kemudian dibuang ke koloni Portugis lainnya: Mozambik dan Macau.
Selama perang dunia kedua, meskipun Portugal bersikap netral, Timor Portugis mendapat bantuan penjagaan dari Belanda dan Australia, untuk mengantisipasi invasi Jepang semenjak Desember 1941. Jepang berhasil menguasai Timor secara keseluruhan pada bulan Februari 1942 dan menjadikan Jepang sebagai penguasa tunggal pulau Timor. Pasukan Belanda dan Australia yang terjebak, melakukan perlawanan dengan cara gerilya serta dibantu oleh masyarakat Timor Portugis. Peperangan gerilya yang berkepanjangan ini, menyebabkan perekonomian hancur serta kekurangan bahan pangan.
Setelah perang dunia kedua selesai, Portugis segera mengklaim kembali Timor Portugis. Untuk membangun kembali perekonomian Timor Portugis, administrator colonial menekan para kepala suku untuk dapat ‘menyumbangkan’ tenaga kerja untuk memperbaiki pertanian. Administrator kolonial menyerahkan masalah pendidikan rakyat Timor ke pihak gereja. Penyerahan masalah pendidikan ini sedikit meningkatkan jumlah orang berpendidikan. Orang-orang yang berpendidikan ‘lebih’ inilah, yang menjadi pemimpin, baik menjadi pemimpin ‘pemberontakan’ maupun pemimpin ‘pemerintahan Indonesia’.
Perubahan politik akibat adanya kudeta pada bulan April 1974 di Portugal yang cenderung kiri serta memberi harapan ‘merdeka’ untuk koloni Portugis, berdampak pada kondisi politik di Timor Portugis. Muncul tiga parpol yang memiliki kepentingan berbeda. Parpol tersebut adalah Partai Uni Demokratik Timor (UDT), FRETILIN dan Apodeti. UDT pada awalnya berniat untuk menjadikan Timor Portugis tetap sebagai Protektorat Portugis, namun setelah melihat perkembangan politik, berniat memperjuangkan kemerdekaan. FRETILIN/ASDT dengan doktrin sosialis, memilih untuk memerdekakan Timor Portugis. FRETILIN juga mengklaim sebagai satu-satunya wakil rakyat Timor Portugis. Apodeti berniat menjadikan Timor Portugis sebagai bagian dari Indonesia. Alasan yang dikemukakan Apodeti adalah lemahnya perekonomian serta kondisi georafi yang lebih dekat ke Indonesia. Selain tiga parpol ‘besar’, ada dua parpol ‘kecil’: KOTA, Trabalhista dan ADITLA. KOTA dan Trabalhista memiliki niatan yang sama dengan Apodeti, yaitu memilih bergabung dengan Indonesia. ADITLA memperjuangkan ide untuk bergabung dengan Australia, namun ide tersebut ditolak oleh Australia.
Perkembangan politik di Timor Portugis diamati oleh Indonesia dan Australia. Indonesia mengkhawatirkan perkembangan ‘politik kiri’ serta hal ini dapat memicu keinginan untuk merdeka dari beberapa propinsi seperti Aceh, Irian Barat dan Maluku. Australia, dibawah pemerintahan partai buruh yang dipimpin oleh Gough Whitlam, malah menyarankan Indonesia untuk mengambil alih pemerintahan Timor Portugis. Saran ini atas pertimbangan bahwa Timor Portugis ‘tidak bertuan’ karena Portugal sudah menarik pasukan serta membiarkan Timor Portugis. Hal ini dapat menjadi potensi ancaman atas stabilitas keamanan regional. Alasan lain adalah Indonesia mudah ‘diperalat’ dan mempermudah upaya Australia menguasai sumber minyak di Celah Timor.
AS juga mengkhawatirkan perkembangan Timor Portugis ini. Setelah ‘gagal’ menundukkan Vietnam, kekhawatiran AS semakin membesar dengan perkembangan gerakan kiri di Timor Portugis. AS juga ‘mempengaruhi’ Indonesia untuk mengambil alih segera ‘tanah tidak bertuan’ tersebut.
Setelah terjadi perang sipil di Timor Portugis akibat pertikaian politik, maka pada bulan Desember 1975, Indonesia mengambil alih pemerintahan di Timor Portugis, merubah namanya menjadi Timor Timur dan menjadikannya sebagai provinsi ke 27.
Sumber: Hansip
Sisi Gelap Operasi Seroja
Jun25 by suciptoardi
Operasi Seroja merupakan operasi ‘militer’ terlama yang pernah dilakukan oleh ABRI. Sebelumnya, operasi militer terlama yang dilakukan ABRI adalah operasi penumpasan DI/TII. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa operasi Seroja berlangsung dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1978. Menurut penulis (joel Manz), operasi Seroja masih berlaku sampai dengan ‘lepasnya’ Tim-Tim. Hal ini ditandai dengan adanya organisasi ‘Kolakops’ yang merupakan ciri khas operasi militer serta pemberian satyalancana Seroja bagi tentara yang bertugas setelah tahun 1978. Hal lain yang mendukung pendapat penulis adalah dikaryakannya anggota ABRI di pemerintahan, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Beberapa jabatan bupati yang daerahnya dianggap rawan serta jabatan wakil gubernur adalah jabatan yang diplot untuk anggota ABRI yang dikaryakan. Hal ini mengingatkan kita akan taktik gerilya a la Jenderal Besar Nasution yang diimplementasikan oleh ABRI melalui dwi fungsinya.
Operasi Seroja merupakan lanjutan dari operasi intelijen yang dilakukan oleh pihak Intelijen Indonesia sebelumnya, yaitu operasi Komodo yang telah digelar semenjak Januari 1975. Operasi Komodo bertujuan untuk menjalin kontak politik dengan orang-orang pro-Indonesia. Perang sipil yang masif di Timor Portugis serta ‘dorongan’ Aussie dan AS, memicu Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan di Timor Portugis.
Sisi ‘Gelap’ Operasi Seroja
Operasi Seroja ini merupakan operasi militer yang gagal, karena sejak awal tidak direncanakan secara jelas serta banyak kepentingan politik bermain di dalamnya. Bagi sebagian kalangan ABRI, operasi Seroja merupakan tempat latihan tempur ‘real time’ dan batu loncatan untuk karir, meski pun resikonya juga sangat besar. Bagi sebagian kalangan ‘lain’, operasi ini juga menjadi ladang korupsi yang sangat subur karena perhatian pemerintah pusat terhadap Tim-Tim berupa kucuran dana sangat besar.
Perencanaan operasi militer ini pada awal dan selama integrasi tidak ada kejelasan. Oleh karena itu, tidak heran selama kurun waktu 24 tahun ABRI kehilangan sebanyak 3.315 orang yang gugur di medan penugasan serta cacat sebanyak 2.338 orang. 60% dari gugur dan cacat adalah anggota TNI-AD. Selain itu, operasi ini lebih banyak menonjolkan operasi ‘darat’ ketimbang suatu operasi ‘gabungan’ dengan melibatkan unsur ‘laut’ dan ‘udara’. Tidak heran, gerakan pro-kemerdekaan dengan mudah mendapat suplai senjata dari ‘pihak asing’ melalui laut dan udara. Selain itu, ‘pihak asing’ sering sekali kegiatan intelijen melalui laut dan udara, terutama menjelang referendum tahun 1999.
Operasi ini tidak didukung oleh upaya diplomasi di panggung internasional secara serius. Padahal pada awal masuknya Indonesia ke Tim-Tim, ‘dukungan’ AS dan juga Australia serta beberapa negara ‘barat’ sangat kuat. Jika ditangani serius pada awal masa integrasi, seharusnya masalah bergabungnya Tim-Tim dengan Indonesia dapat selesai dengan ‘cepat’ dan ‘aman’. Sebagai bukti tidak seriusnya penanganan masalah Tim-Tim, sampai tahun 1999, PBB menganggap wilyah Tim-Tim sebagai koloni Portugis.
Aspek lain yang tidak diperhatikan oleh operasi ini adalah aspek budaya lokal. Operasi ‘teritorial’ seperti AMD hanya menyentuh aspek ekonomi semata, sementara aspek budaya tidak tersentuh sama sekali. Pihak Gereja dan tokoh lokal jarang sekali dilibatkan dalam kegiatan ‘teritorial’, karena dicurigai memiliki hubungan erat dengan gerakan pro-kemerdekaan. Gereja merupakan sokoguru dalam kehidupan masyarakat Tim-Tim selama berabad-abad. Bila terjalin kerja sama yang erat, sudah barang tentu menjadi mitra pemerintah yang efektif. Tokoh-tokoh lokal juga sepertinya diabaikan. Padahal kerja sama dengan tokoh lokal dapat dimanfaatkan secara efektif, sebelum lembaga-lembaga yang lebih modern dapat berfungsi dengan baik.
Aspek adminstratif pemerintahan akibat integrasi Tim-Tim ke Indonesia tidak diselesaikan secara tuntas serta mengabaikan budaya lokal. berdasarkan UU no 7/1976 tentang pengesahan Tim-Tim ke dalam NKRI disebutkan bahwa latar belakang budaya yang berlainan memerlukan ‘aturan khusus’. Hilangnya kekuasaan raja-raja lokal akibat penerapan UU tentang pemerintahan desa serta penghapusan hak kepemilikan ‘mutlak’ atas tanah, termasuk tanah gereja, dan hanya mempunyai hak guna usaha atau hak guna bangunan, merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menyelesaikan ‘aturan khusus’ sebagaimana tertera pada UU no 7/1976.
Pembentukan milisi yang semula tujuannya adalah untuk mempertahankan integrasi, namun kemudian melenceng menjadi aksi cowboy dan menjadi pemicu aksi-aksi kekerasan di Tim-Tim. Pembentukan milisi ini dimulai pada tahun 1978 dengan dibentuknya Wanra. Wanra ini diharapkan dapat membantu ABRI dalam upaya membasmi gerakan pro-kemerdekaan. Kelompok-kelompok wanra ini mendapat pelatihan militer dari Kopassus. Beberapa kelompok wanra yang dibentuk di awal: Halilintar, Makikit, Saka, Sera dan Alfa. Pada tahun 1989, dibentuk pula kelompok wanra bernama Garda Muda Penegak Integrasi atau Gardapaksi. Pembentukan kelompok ini merupakan ide dari Prabowo Subianto.
Sejak dahulu sampai sekarang, Tim-Tim atau Timor Leste merupakan ajang ‘politik’. Jika ‘berhasil’ maka karir akan berkembang, namun bila ‘gagal’ maka karir akan ‘jalan di tempat’ atau ‘tersingkir’. Selain itu, nyawa juga menjadi taruhan dalam penugasan ke Tim-Tim. Bagi perwira yang bernasib baik, Tim-Tim merupakan ‘tiket’ untuk memuluskan karir. Jika kurang beruntung namun memiliki ‘kontribusi’ yang bagus, dapat ‘diselamatkan’ dengan berbagai cara.
Kasus insiden Dili 12 November 1991 dapat dijadikan contoh kasus bagaimana para perwira yang terkait insiden tersebut ‘diselamatkan’. Inilah nama-nama perwira yang terkait dengan insiden tersebut:
Mayjen Sintong Panjaitan; menjadi Pangdam Udayana pada saat insiden. Ia ‘diselamatkan’ oleh Habibie pasca peristiwa tersebut. Sempat menjadi Sesdalopbang pada saat Habibie menjadi Presiden.
Brigjen Rudolf Warouw; menjadi Pangkolakops pada saat insiden terjadi. Ia ‘diselamatkan’ oleh Jenderal Wismoyo Arismunandar dan menjadi Sekjen KONI pasca peristiwa tersebut. Berdasarkan penelusuran penulis, beliau terakhir diketahui menjadi salah satu Direksi Dipasena Group, perusahaan pengelola tambak udang di Lampung.
Kolonel JP Sepang; menjadi Danrem Tim-Tim pada saat insiden terjadi. Pasca insiden tersebut, ia ‘diparkir’. Ia muncul kembali, namun menjadi orang sipil dengan menjadi Kepala DLLAJ DKI Jakarta semasa Gubernur Sutiyoso.
Ajang ‘politik’ menjadi jatah kelompok pamen ke atas. Bagaimana dengan kelompok perwira pertama, bintara dan tamtama? Kebanyakan dari mereka kini bergulat melawan kemiskinan. Janji untuk meningkatkan kesejahteraan para veteran seroja tidak terdengar lagi. Suara mereka pun tidak didengar oleh pemerintah dan dianggap angin lalu semata terkait dengan lepasnya Tim-Tim.
Jika caranya seperti ini, kita bukanlah bangsa besar yang memberikan penghormatan pada pahlawannya.
Sumber: Hansip
Operasi Seroja ( Timor Timur, 1975 – 1979 )
Jun25 by suciptoardi
Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.
Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan “Operasi Komodo” yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).
Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi “Operasi Flamboyan”. Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi “Operasi Seroja”.
Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.
Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.
Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. “Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor,” kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).
Gunship
Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.
Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. “Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan,” ingat Marsda (Pur) Suakadirul.
Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. “Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang,” katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. “Sebagai panutan, lah.”
Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. “Satu pesawat memuat 100 orang,” jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.
Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.
Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.
T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan).
Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit.
Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.
Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.
Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.
Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.
Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.
Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember.
Go!
Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.
Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.
Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. “Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro,” protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. “Saya tidak mengerti soal itu,” jawab Suakadirul.
Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. “Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized,” cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. “Saya berada pada ketinggian 900 kaki,” ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.
Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, “2 menit ahead.”
Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. “Kerongkongan saya mendadak kering,” ujar Suakadirul.
Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. “Penerjun siap?” Dilanjutkannya dengan perintah, “Sedia di pintu!” Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. “Go!”
Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.
Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.
Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, “terpaksa” menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.
Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.
Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. “Ternyata cuma kopi.”
Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.
Salah tembak
Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan “Merah Putih”. Untung lagi, tidak ada korban.
Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.
Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.
Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. “Ditembak sniper,” ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul “Drop Zone Dili”, 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan.
Sumber: Indonesiakemarin
Langganan:
Postingan (Atom)