Minggu, April 08, 2012
Tentang perang dan Timor 1975 (Mari Jujur….)
Jun25 by suciptoardi
Jika peristiwa di Timor tahun 1975 sesuai dengan gambaran dalam film Balibo, maka yang terjadi di sana adalah penyerbuan yang ketidakadilannya berlipat-lipat. Michael Walzer dalam bukunya Just and Unjust Wars, dengan komprehensif membahas tentang perang, lengkap dengan contoh-contohnya.
Sayangnya, penyerbuan Indonesia ke Timor tahun 1975 tak termasuk bahasan Walzer. Saya bisa memaklumi tiadanya bahasan soal Timor. Tulisan itu memang secara khusus digerakkan oleh aktivisme atas situasi di Vietnam, sedangkan ditulisnya saja selesai pada 1977. Saya yakin saat itu peristiwa Timor tenggelam di bawah ramai-ramai Perang Vietnam, dan secara sengaja pula ditenggelamkan oleh komplotan–ya, komplotan, bukan hanya Indonesia saja–negara-negara pelaku dan penyokong penyerbuan.
Untuk melihat adil tidaknya suatu perang, secara garis besar ada dua hal yang jadi referensi. Yang pertama, jus ad bellum, yakni alasan berperang. Yang kedua, jus in bello, yakni cara-cara yang digunakan dalam berperang. Bisa saja satu agresi tidak dengan alasan yang valid, atau tidak adil jika dilihat dari jus ad bellum. Tapi bisa juga alasan agresinya valid, namun tak memakai cara berperang sesuai konvensi, dengan kata lain, tak adil jika dilihat dari sudut pandang jus in bello.
Perang yang terjadi di Timor tahun 1975, bagi saya sudah jelas tidak memiliki dasar yang jelas. Kalau saya tidak salah, versi pemerintah mengatakan kalau serangan itu dilakukan karena ada faksi Timor-Timur yang meminta bergabung dengan Indonesia, sedangkan faksi lain, yang jelas paling besar, Fretilin, menghendaki kemerdekaan. Yang diketahui warga Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto saat itu, tentara telah menyelamatkan Timor-Timur dari perang saudara. Indonesia adalah “pahlawan” dan “pengayom” rakyat Timor, tanpa menyebutkan proses heroik dan mengayomi itu terjadi melalui pembunuhan lebih dari seratus ribu orang.
Kembali ke soal alasan perang, tentu saja sebuah negara tidak bisa menganeksasi sebuah wilayah hanya karena–katakanlah–seratus orang penduduknya memintanya. Terkecuali jika ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara pada rakyatnya, negara lain tak bisa melakukan agresi dalam rangka humanitarian intervention. Dengan demikian, alasan Indonesia merespon salah satu faksi Timor itu tidak tidak valid. Penyerangan 1975 sama sekali tidak adil atau benar, jika dilihat dari jus ad bellum.
Jika memakai kategori kedua, Indonesia lebih tak punya muka lagi. Pertama, aturan dalam perang yang sudah jelas: tentara harus melawan tentara. Yang disebut tentara tentu saja lengkap dengan perangkatnya: seragam dan senjata. Dalam film Balibo, kita bisa melihat adegan di mana personil ABRI mengganti seragamnya dengan pakaian sipil, mungkin dengan tujuan untuk mengecoh gerilyawan. Itu saja sudah salah.
Aturan lainnya juga jelas: tidak boleh menyerang apalagi membunuh rakyat sipil. Tapi di Dili dan daerah Timor lain, darah rakyat sipil membanjiri tanah. Di antara rakyat sipil memang ada gerilyawan, dan taktik gerilyawan memang membaur di tengah-tengah rakyat sipil. Tetapi kita bisa membedakannya dari senjata. Gerilyawan tentulah bersenjata. Lagipula, dalam perang antara dua tentara terorganisasi pun (artinya bukan gerilyawan) kita tak boleh membunuh mereka yang menyatakan menyerah ataupun tentara tanpa senjata. Perang ini, jelas jauh dari pantas, benar, apalagi adil.
Soal lain yang mengganggu pikiran saya, apakah darah orang Timor hanya milik pemerintah dan tentara Indonesia? Bagi saya, jelas tidak. Yang pertama, Australia, negara tetangga Timor ini juga punya andil. Pemerintah negara ini membiarkan ratusan ribu tetangganya mati dalam penyerangan. Tapi baiklah. Kita semua mafhum kalau Australia tidak punya cukup keberanian menghadapi Indonesia. Dengan sumber daya militer yang jauh di bawah Indonesia, mereka tak mungkin berani. Apalagi di belakang Indonesia ada Amerika Serikat.
Amerika Serikat? Ya, Amerika Serikat. Gerilyawan yang mengawal jurnalis Roger East di film itu berkata, “Dari mana Indonesia bisa membeli helikopter mahal dari Amerika itu?” Tentu saja itu sokongan Amerika Serikat yang ketakutan pada Fretilin yang komunis. Kedua negara yang alergi dengan komunisme ini, Indonesia dan Amerika, tak mau ada negara baru komunis yang nantinya masuk Blok-Timur. Indonesia dalam hal ini, mengorbankan semangat dan prinsip antikolonialisme yang dirayakan dalam Konferensi Asia Afrika. Juga mengingkari prinsip bebas-aktif yang digembar-gemborkannya sendiri, dengan gerakan non-bloknya.
Lalu sekarang, dengan seabrek kejahatan dan kepengecutan itu, kita mau mengingkari dan menutup-nutupi kebenaran? Bagi saya, itu berarti mencederai semangat liberasi yang kita perjuangkan melalui reformasi dan dilanjutkan dengan pembebasan Timor-Timur, yang sudah lebih dari sepuluh tahun kita lalui. Jika kita terus-menerus menolak untuk jujur pada diri sendiri, saya membayangkan korban Balibo dan lainnya akan selalu menghantui pendidikan demokrasi kita.
Sumber: Jurnalida
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar