Minggu, April 08, 2012
Operasi Seroja Tinggalkan 1001 Kisah
by suciptoardi
Timor Timur mempunyai 1001 kisah. Tapi sepertinya Operasi Seroja menjadi cerita yang paling berwarna. Bukan hanya bagi para pelaku operasi militer itu dan keluarganya saja, atau bagi para korban. Tapi bagi seluruh masyarakat Timtim. Bagaimana tidak? Karena keberhasilan Operasi Seroja, Timtim masuk menjadi bagian dari wilayah NKRI selama 23 tahun. Suatu babak baru dalam kehidupan warga Timor Timur setelah bertahun-tahun ada di bawah dominasi Portugal. Dari sisi pelaku Operasi Seroja dan keluarganya, kesuksesan operasi berhasil mencuatkan nama, pangkat, dan karier militer. Tapi Operasi Seroja juga membuat keluarga pelaku pedih menderita. Banyak keluarga yang ditinggal mati ayah, suami, kakak, adik, dsb. Atau keluarga harus menanggung kecacatan mantan pejuang Seroja seumur hidup. Kisah Operasi Seroja, benar-benar menjadi kisah yang hidup. *** Ayah teman karib saya, yang juga mantan pejuang Seroja amat suka bercerita tentang pengalamannya menjalankan tugas operasi Seroja di Timtim. Almarhum yang rajin membuat catatan-catatan kecil itu, bangga dengan tugas yang dipikulnya, meski taruhannya nyawa.
Para pejuang Seroja begitu ikhlas menjalankan operasi sebagai bagian dari tugas abdi negara. Kisah itu berawal dari persiapan pleton I Kompi MORBE 120 detasemen bantuan tempur Brigif II KTD-AD yang akan berangkat melaksanakan tugas Operasi Seroja di Timor Timur. Selasa, 7 Oktober 1975, pasukan berangkat dengan menggunakan KRI Wakolo dan KRI Nuburi. Perjalanan laut itu memakan waktu tujuh hari. Akhirnya perjalanan laut yang membosankan pun berujung di pelabuhan Atapupu, Atambua, NTT. Sambil mempersiapkan segala sesuatunya, pasukan diberi kesempatan beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kondisi. Menjelang operasi dilakukan, berbagai hal yang berkaitan dengan militer ditanggalkan. Kecuali senjata. Pasukan bergerak sebagai relawan berkostum jeans. Waktu itu, “pasukan relawan” ini sering disebut sebagai The Blue Jeans Soldier. Sasaran utama operasi adalah merebut dan menduduki kota-kota dan objek-objek penting yang dikuasai Fretilin. Maliana sampai Bobonaro dan Benteng Batugade menjadi target operasi perdana. Khusus untuk penyerangan Benteng Batugade diserahkan kepada pasukan Marinir AL. Sementara penyerangan dari Maliana hingga Bobonaro ditangani Yonif 507 dan Yonif 527. Operasi berjalan lancar. November 1975, benteng Balibo dapat direbut dan dikuasai pasukan Kopassanda. Sasaran berikut adalah markas kavaleri Fretilin di Atsabai. Pertempuran seru terjadi di sini. Korban berjatuhan dari masing-masing pihak. Namun, markas kavaleri Fretilin berhasil direbut dan dikuasai. Catatan tentang pertempuran seru hampir tak pernah terlewatkan. Salah satunya, pertempuran seru antara pasukan infantri ABRI dengan Fretilin yang terjadi di Suai, dua hari setelah Natal, Sabtu, 27 Desember 1975. Pertempuran lainnya yang juga seru, terjadi saat menyerbu Baucau. Penyerbuan selama 11 hari itu, 18 hingga 29 September 1976, cukup menghabiskan energi kedua belah pihak. Sebagian pasukan untuk penyerbuan Baucau diangkut menggunakan KRI Teluk Langsa. Tank-tank amfibi Marinir mendarat di pelabuhan Laga mengepung dari sudut-sudut pantai. Infiltrasi ke kota Baucau inilah yang menjadi ajang pertempuran dahsyat. Setelah pelabuhan dan Kota Baucau dapat dikuasai, maka penyerangan dilanjutkan untuk merebut bandara udara Baucau. Akhirnya kota perdagangan Baucau berhasil dikuasai ABRI. Sementara tentara Fretilin yang tersisa lari ke hutan-hutan dan pegunungan di luar kota Baucau. Ibukota Dili di awal Februari 1976 telah berhasil direbut dan dikuasai ABRI tapi tidak berarti kota lain dengan mudah ditundukkan. Letupan-letupan kecil masih terjadi di mana-mana. Kota besar terakhir yang berhasil dikuasai ABRI adalah Los Palos.
Pertempuran besar terakhir, 1978 yang dramatis. Berhari-hari Los Palos yang merupakan basis Fretilin itu dikepung. Dalam pertempuran terakhir itu, Fretilin mengalami kekalahan telak. Sekitar 3.000 tentara Fretilin berhasil ditawan. Banyaknya korban warga sipil yang tewas, merupakan akibat dari strategi tentara Fretilin yang menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup. Jatuhnya Los Palos, seolah menjadi pertanda selesainya Operasi Seroja. Sayang, sang pelaku sejarah itu telah meninggal empat tahun lalu. Namun, catatan-catatan kecilnya sangat membantu kita mengetahui gambaran peristiwa saat itu.
Operasi Seroja mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Sugama, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari Operasi Militer bersandi Seroja itu. Sebenarnya masih ada lagi, intelijen yang pertama kali masuk wilayah Timtim 1974, Aloysius Sugianto. Nama tokoh terakhir ini, nyaris tak pernah disebut-sebut. Padahal andilnya sangat besar, ketika melakukan operasi Komodo. Sebuah operasi khusus intelijen yang mengedepankan pendekatan sosio-politis, sebelum dilakukan operasi militer Seroja. Banyak prajurit berperanan penting dalam operasi militer Seroja 1975-1978 itu. Namun mereka nyaris ‘tak dikenal’ dan ‘tak dikenang’. Karena mereka hanyalah ‘prajurit biasa’ bukanlah komandan. Tapi keterlibatannya dalam upaya menyatukan Timtim masuk dalam NKRI tak bisa dianggap tiada. Amir Siregar dulu ikut berjuang juga di Timtim. Aktivitasnya kini, lebih banyak berkubang dengan urusan koperasi. Hari-harinya diisi dengan mengurusi koperasi veteran penyandang cacat. Amir Siregar bukanlah orang biasa. Pria tegap yang kini telah berumur 64 tahun itu, lulusan AKABRI angkatan 1968. Selama dua tahun, sejak 1975 hingga 1977, Amir ditugaskan di Timor Timur untuk menumpas kelompok Fretilin. Tahun 1978, Amir kembali berangkat ke Timtim untuk tugas yang kurang lebih sama. Ketika bincang-bincang dengan Liputan6.com, Amir mengungkapkan betapa perhatian pemerintah terhadap para veteran Seroja sangat kurang. Perjuangan para prajurit dalam operasi Seroja yang dilakukan dalam menunaikan tugas negara, tak lagi mendapat tempat di hati para prajurit muda seperti sekarang ini. “Kondisi ini sangat disayangkan!” katanya, di sela-sela persiapannya menuju masjid untuk melakukan salat Tarawih, Senin (31/8) malam.
Amir Siregar yang dulu bergabung dengan batalyon Kostrad brigif 18 Malang itu menyesalkan kejadian pembakaran lencana satya, penghargaan dari negara. Peristiwa yang terjadi 2002 silam itu, tidak semestinya dilakukan oleh para veteran, meski sangat kecewa terhadap pemerintah. Peristiwa pembakaran lencana setya itu dilakukan para veteran, Minggu (19/5/2002) malam pukul 22.00, saat acara perenungan keprihatinan di kompleks veteran Seroja Bekasi. Peristiwa itu disaksikan para veteran Seroja, keluarga, dan warakawuri janda-janda veteran. “Mereka tidak dendam pada pemerintah, tapi kecewa!” kata Amir. Menurut Amir, bukan soal besaran tunjangan yang diberikan tiap bulan sekitar 250-300 ribu rupiah atau tunjangan bagi veteran cacat yang tidak turun juga hingga kini, tapi soal pengakuan eksistensi pemerintah. Itu yang belum ada sampai sekarang. Para veteran Seroja hanya berharap, perjuangan mereka di Timtim dulu dihargai. Kini sedikitnya terdapat 350 KK veteran Seroja yang tinggal di Kompleks Seroja Bekasi. Mereka bekerja macam-macam. Ada yang jadi sopir angkutan umum, pedagang, pekerja serabutan, dll. Semuanya itu sekadar untuk bisa melanjutkan kehidupan yang memang tak boleh berhenti. Bangsa yang luhur adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Dan…Indonesia, masih belum mampu melaksanakannya.(VIN)
Sumber: Liputan 6
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar