Minggu, April 08, 2012

Kunjungan Tiga Presiden Amerika Serikat dan Sejarah Indonesia

Jun25 by suciptoardi Kunjungan selalu mempunyai arti penting dalam konteks kepentingan yang berkunjung dan yang dikunjungi. Bagi presiden dan orang-orang dekatnya, gambaran kunjungan itu bisa tampak jelas dan rinci. Namun, masyarakat biasa hanya bisa mencatat, setiap kunjungan selalu mempunyai signifikansinya sendiri-sendiri, setidak-tidaknya secara garis besar. Nixon dan Pepera Kunjungan Nixon ke Indonesia, 27-28 Juli 1969, penting karena dua perkara. Pertama, Nixon perlu menjelaskan rencana AS mengubah strateginya untuk Asia, yang dikenal dengan Doktrin Guam atau Doktrin Nixon (Juli 1969). Doktrin itu menegaskan AS akan sedikit demi sedikit mengurangi kehadiran militernya di Asia dan meminta negara-negara Asia menanggung beban keamanannya sendiri (“Asianisasi Asia”). Misalnya, Nixon sering menyebut rencana penarikan mundur (withdrawal) dari Vietnam. Kedua, Indonesia dan AS berkepentingan menuntaskan masalah Irian Barat. Juli dan Agustus 1969 itu sedang berlangsung Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) oleh PBB. Pada dasarnya AS mendukung integrasi Irian Barat ke Indonesia karena AS ingin terus menjalin hubungan dengan Soeharto yang waktu itu dianggap sebagai seorang “moderate military man … committed to progress and reform” dan “walau nonblok tetapi dekat dengan Washington”. Kendati Penasihat Keamanan Henry Kissinger mengingatkan agar Nixon tidak membahas isu Pepera, kehadiran Nixon ke Indonesia “bicara” jelas tentang dukungan AS terhadap kebijakan Indonesia tentang Irian Barat. Kemudian AS juga mengisyaratkan tidak mau terlibat debat berlama-lama tentang Pepera dan cenderung mengusahakan integrasi tersebut segera diterima Majelis Umum PBB secara formal. Ford dan Operasi Seroja Kunjungan Ford ke Jakarta pada 4-5 Desember 1975 berada pada situasi menjelang serangan tentara Indonesia ke Timor Timur. Secara garis besar, kunjungan Ford itu adalah untuk merestui aneksasi Timor Timur. Dalam situasi dan logika Perang Dingin, Timor Timur secara strategis dianggap paling masuk akal dimasukkan ke Indonesia daripada masuk satelitnya Uni Soviet atau RRC. Apalagi suasana Perang Dingin hari-hari itu masih sangat terasa menyusul kekalahan pasukan AS di Indochina dan adanya kekhawatiran berlakunya teori Domino di kawasan Asia Tenggara. Dua hari setelah kunjungan Ford itu, pasukan Indonesia memasuki Timor Timur dengan Operasi Seroja (7 Desember 1975). Karena itu, secara jelas dan simbolik, kunjungan tersebut menunjukkan AS dan sekutu-sekutu Barat-nya pada waktu itu mendukung dan merestui integrasi Timor Timur ke Indonesia. Reagan dan HAM Kunjungan Reagan ke Bali (29 April-2 Mei 1986) dalam rangka KTT ASEAN. Kunjungan ini berada dalam suasana Indonesia sedang dicerca dunia karena pelanggaran HAM. Ada Operasi Rahasia menangkapi secara rahasia para penjahat (Operasi Petrus), penangkapan aktivis pengkritik pemerintah, penangkapan dan penolakan wartawan asing, serta kebijakan-kebijakan represif berlebihan pemerintah atas rakyatnya di banyak tempat, terutama di Timor Timur. Kunjungan Reagan ke Bali dimanfaatkan untuk memberikan dukungan kepada pemerintahan Soeharto kendati dipandang dunia sebagai tidak demokratis dan melanggar HAM. Bahkan, menjelang kunjungan itu, Pemerintah Indonesia masih berani menangkap beberapa wartawan asing yang dikenal kritis terhadap Indonesia. Sayangnya, kunjungan Reagan di Bali itu kurang mendapatkan porsi liputan media massa karena ada peristiwa penting di luar Indonesia yang tiba-tiba terjadi, yaitu kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl, Uni Soviet. Karena Uni Soviet waktu itu masih menjadi musuh bebuyutan AS, Reagan kemudian jauh lebih sibuk memberikan pernyataan tentang kecelakaan itu daripada tentang Indonesia. Clinton dan Deklarasi Bogor Kunjungan Clinton ke Jakarta dan Bogor (13-16 November 1994) dilakukan dalam rangka KTT APEC. Untuk menjadikan menarik dan dikenang sejarah, Indonesia merancang suatu deklarasi tentang kesepakatan pasar bersama APEC dengan jadwal 2010 untuk negara maju dan 2020 untuk negara sedang berkembang. Kini tercatat aneh, Deklarasi Bogor itu justru disponsori oleh Indonesia, anggota APEC yang tampilan ekonominya paling rendah dan paling rentan terhadap dampak liberalisasi itu. Mungkin wajar kalau prakarsa itu datang dari Jepang atau Singapura atau Korea Selatan yang sudah jauh lebih siap dengan pasar bebas bersama. Agaknya pengaruh adidaya atas Indonesia sangat menentukan langkah Pemerintah Indonesia saat itu, sampai-sampai hanya agar Clinton mau datang, Pemerintah Indonesia mengabaikan kepentingan nasional yang lebih konkret. Penjagaan ketat pasukan keamanan AS terhadap presidennya sudah menimbulkan kritik dan protes pada waktu itu. Tentara AS secara mencolok terlihat mengamankan presidennya sendiri dan mengabaikan pasukan keamanan tuan rumah. Sumber: Unisosdem

Tidak ada komentar: