Senin, Januari 11, 2010
Kamar
Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma 3 m x 4 m, “terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuninya tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika sebuah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa.
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu “tertidur dalam tersedu”. Sang bapak “terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran “orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak “sudah lima anak bernyawa di sini”.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. “Keramaian penjara sepi selalu”.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini – yang baru saja berulangtahun ke-482 -- dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah”. Itu tulis Gaston Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun”. Akhirnya rumaha hanya terbangun horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.
Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas.
Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.
Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima…
Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa disebut “rumah”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat pertemuan…
Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak menyebut diri "tuna-wisma".
Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi selalu.”
Goenawan Mohamad
Jumat, Januari 08, 2010
Adeus Major Ular
Loron matan, Fitun no Fulan, Udan no Anin, Timor no nia Balada tomak sai sasin ba MAJOR nia Moris.......
Rai no Balada tomak hatene MAJOR nia hahalok........
Sakrifisio vida tomak ba MAJOR nia rai doben liu husi tentasaun oi-oin, ikus MAJOR hetan victoria bot ida ba MAJOR an rasik mos istoria bot ida ba MAJOR nia Oan Doben sira. Los MAJOR nia belun bot dehan ”Buat barak MAJOR halo ona ba rai doben, Estado seidauk fo hotu buat nebe MAJOR halo” maibe karik ne’e husi MAJOR nia fuan laran la husu.... tamba MAJOR hadomi MAJOR rai doben Timor.
Timor doben Lakon nia ema diak ida
Timor doben susar atu hetan ema diak ida hanesan MAJOR....
Laiha kolen wainhira Major hakur mota, sae-tun foho, no toba iha rai fuik laran
Sakrifika an hasoru udan, anin no loron matan
Aten brani hasoru empuscada inimigo nia no ho asasino hasoru kilat musan inimigu nia
Karik fitio Major nia sempre hakbesik ba ema hotu, paz nain, dame nain no aman ba ema hotu, inimigo sai amigo i amigo sai nia familia
Laiha ema ida atu halo tuir MAJOR nia hahalok, maibe ami fiar instituisaun nebe MAJOR knar’an ba sei konta no halo tuir MAJOR nia hakarak no hahalok iha sira nia neon no hanoin...........
Lalenok MAJOR nia sei iha MAJOR nia oan sira nia moris.....maske sira lakon aman nebe sira hadomi maibe sira mos orgulho tamba MAJOR nudar Aman rai hela istoria bot ida iha sira nia moris no Timor
Adeus Heroi da Libertasaun I Adeus Major
Hakmatek ba iha PAZ
Dili, 070101
Ular Rheik, mantan GPK Timtim (Comandante Região 4 Falintil)
Ular Rheik, mantan GPK Timtim (Comandante Região 4 Falintil)
Kemarin sore, 6 Januari 2009, Mayor Ular Rheik, kepala administrasi keuangan F-FDTL (Angkatan Pertahanan Timor-Leste) meninggal dunia. Sehari sebelumnya ia dibawa ke Rumah Sakit Nasional Guido Valadares, Dili, karena dadanya merasa sakit. Ia sudah delapan bulan berhenti merokok karena gangguan pada paru-parunya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia diperbolehkan pulang. Tetapi sehari kemudian ia kembali dilarikan ke rumah sakit karena jatuh di kamar mandi. Ia meninggal tak lama sesudah tiba di rumah sakit.
Ular Rheik dilahirkan di desa Bibileu, Viqueque, 56 tahun yang lalu dengan nama Virgílio dos Anjos. Dia adalah anak ke-3 dari pasangan Madalena dan Celestino dos Anjos yang dikarunia tujuh anak (empat laki-laki dan tiga perempuan). Sewaktu masih bujangan, Celestino dos Anjos pada masa Perang Dunia II mendapatkan pelatihan militer tentara Australia karena direkrut untuk membantu operasi gerilya pasukan khusus angkatan bersenjata Australia Kompi Independen 2/2 menghadapi tentara Jepang yang menduduki Timer-Leste. Atas jasa-jasanya, setelah Perang Dunia berakhir, Celestino mendapatkan bintang penghargaan dari angkatan bersenjata Australia.
Virgílio dos Anjos menempuh pendidikannya di sekolah misi Katolik di Ossu, yang terletak sekitar 30 km dari desanya. Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia menjadi guru sekolah dasar di sekolah yang sama. Pada waktu berlaku peraturan pemerintah kolonial Portugis bahwa semua orang yang berpendidikan harus memasuki dinas wajib militer dua tahun. Ketika masanya tiba, Virgílio pun memasuki dinas pada angkatan bersenjata Portugis. Tidak lama setelah selesai mengikuti pendidikan militer, pada 1974 Virgílio diangkat menjadi wakil komandan kompi di Viqueque.
Revolusi Bunga Anyelir (Revolução dos Cravos) menggulingkan pemerintahan diktator Caetano di Portugal menimbulkan kebangkitan politik di Timor-Leste. Muncul partai-partai politik dengan agenda masing-masing, dengan tiga partai terpenting Fretilin (Front Kemerdekaan Timor-Leste) yang menginginkan kemerdekaan segera, UDT (Uni Demokrat Timor) yang menginginkan kemerdekaan bertahap setelah 15 tahun, dan Apodeti (Asosiasi Kerakyatan Demokratis Timor) yang menginginkan integrasi Timor-Leste ke dalam negara Indonesia. Virgílio tidak masuk salah satu partai politik karena sebagai anggota angkatan bersenjata dia terikat pada ketentuan “apartidarismo” (tidak berpartai) yang berlaku di dalam angkatan bersenjata Portugis.
Pada 11 Agustus UDT melancarkan gerakan bersenjata menangkap sejumlah pemimpin Fretilin dan mendesak pemerintah Portugis untuk mengusir sejumlah pemimpin Fretilin dan sejumlah pejabat pemerintah Portugis yang mereka anggap “radikal”. Karena pemerintah Portugis tidak bisa menguasai keadaan, Fretilin melakukan tindakan balasan setelah terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari orang-orang Timor-Leste anggota angkatan bersenjata kolonial. UDT dan sekutu-sekutunya terpukul mundur dan lari melintasi perbatasan ke Atambua setelah pertempuran “perang saudara” selama tiga minggu. Karena pemerintah Portugis tidak kunjung memenuhi seruan Fretilin agar kembali untuk melanjutkan pelaksanaan dekolonisasi yang telah mereka mulai, Fretilin pun mereorganisasi angkatan bersenjata Portugis menjadi Forças Armadas da Libertação Nacional de Timor-Leste (Falintil – Tentara Pembebasan Nasional Timor-Leste). Hal ini juga mereka lakukan karena tentara Indonesia sejak bulan September sudah mulai melakukan aksi-aksi penyusupan lintas batas dari Atambua. Virgílio dos Anjos pun bertugas sebagai wakil komandan kompi dari Falintil.
Pada bulan Oktober tentara Indonesia mulai melancarkan invasi terhadap kota-kota kecil perbatasan Timor-Leste seperti Balibo. Pada pagi harinya 28 November 1975 kota Atabae jatuh setelah digempur dari darat, laut dan udara oleh tentara Indonesia. Sore harinya, untuk mencegah Indonesia menduduki Timor-Leste yang waktu itu vakuum kekuasaan karena perginya pemerintah kolonial Portugis, Fretilin pun mengumumkan berdirinya negara merdeka Republik Demokratik Timor-Leste. Falintil pun menjadi angkatan bersenjata dari negara yang baru diproklamasikan ini. Namun proklamasi tersebut tidak membuat pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto menghentikan niatnya melakukan aneksasi. Republik Demokratik Timor-Leste diinvasi dari darat, laut dan udara oleh tentara Indonesia pada 7 Desember 1975. Pemerintah yang didirikan Fretilin mengungsi ke pegunungan,mendirikan pemerintahan di hutan di wilayah yang mereka sebut ‘zonas libertadas’ (wilayah yang dibebaskan). Sekitar 80% penduduk sipil ikut bersama mereka. Falintil pun melakukan ‘guerra popular prolongada’ (perang rakyat jangka panjang) dari pangkalan mereka di pegunungan.
Meskipun Falintil kalah dari segi jumlah kekuatan personil maupun persenjataan, sulit bagi Indonesia untuk mengalahkan mereka. Berbagai operasi militer dilancarkan Indonesia untuk menghancurkan zonas libertadas. Akhirnya dengan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat, semua pangkalan Falintil di zonas libertadas berhasil dihancurkan oleh tentara Indonesia pada ofensif yang dilakukan akhir 1978 hingga pertengahan 1979. Falintil yang tidak mendapatkan bantuan persenjataan dari manapun, tidak bisa menghadapi pesawat-pesawat counter-insurgency OV 10 Bronco yang baru didapatkan angkatan bersenjata Indonesia dari Amerika Serikat. Jenis pesawat ini memang dirancang khusus untuk menghadapai gerilya di medan yang bergunung-gunung.
Dengan hancurnya zonas libertadas, penduduk sipil turun gunung menyerah kepada tentara Indonesia. Sementara satuan-satuan tentara Falintil yang selamat dari penghancuran meneruskan perjuangan bersenjata di hutan-hutan, kali ini tanpa mempertahankan pangkalan tetap. Ketika penduduk sipil menyerah, di antara mereka sebenarnya terdapat anggota-anggota Falintil dan kader-kader politik yang menyamar sebagai penduduk sipil. Mereka ikut turun gunung dengan tugas untuk mencari jalan untuk mendukung perjuangan rekan-rekan mereka yang masih bertahan di hutan. Virgílio dos Anjos adalah salah satu dari anggota Falintil yang turun bersama penduduk sipil.
Penduduk yang turun gunung oleh tentara Indonesia tidak diperbolehkan kembali ke desa masing-masing. Mereka ditempatkan di desa-desa baru yang diawasi dengan ketat oleh tentara Indonesia. Virgílio dos Anjos bersama keluarganya ditempatkan di kawasan Kraras. Tidak lama kemudian ia aktif dalam kegiatan kepemudaan yang diselenggarakan Indonesia dengan untuk membina pemuda Timor-Leste agar setia kepada Indonesia. Di dalam kegiatan kepemudaan inilah diam-diam Virgílio membangun jaringan clandestina untuk mendukung para pejuang Falintil yang belum menyerah.
Kerja clandestina Virgílio dos Anjos demikian rapihnya, sehingga tidak diketahui oleh tentara Indonesia. Sampai-sampai ketika tentara Indonesia membentuk satuan Ratih (Rakyat Terlatih), Virgílio termasuk yang direrut ke dalamnya. Satuan ini adalah sejenis Hansip (Pertahanan Sipil) yang ada di Jawa. Tetapi berbeda dengan di Jawa, Ratih di Timor-Leste dipersenjatai dengan senjata standar tentara Indonesia dan beroperasi langsung di bawah tentara Indonesia. Di antara para mantan anggota Falintil yang masuk Ratih terjadi saling hubungan. Merekapun dengan berbagai macam cara berhubungan clandestina dengan gerilyawan Falintil yang beroperasi di hutan-hutan.
Pada 1983, setelah beberapa kali dilakukan perundingan, Panglima Falintil Xanana Gusmão dan Komandan Korem 074/Wira Dharma Timor Timur Kolonel Purwanto mengadakan gencatan senjata sementara. Tetapi gancatan senjata ini hanya berlangsung beberapa bulan karena dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang baru, Jenderal Benny Moerdani mengambil garis kebijakan yang keras menghadapi apa yang mereka sebut “Gerakan Pengacau Keamanan” (GPK). Falintil pun melancarkan “Levantamento” (kebangkitan), yaitu memerintahkan penyerangan dan pembelotan satuan-satuan Ratih yang beranggotakan mantan-mantan anggota Falintil. Dua komandan Ratih paling utama yang memimpin pemberontakan adalah Virgílio dos Anjos di Kraras dan Falur Rate Laek di Ossu. Serangan yang dilakukan Ratih di bawah pimpinan Virgílio dos Anjos berhasil menghabisi satu peleton Zipur yang berpangkalan di Kraras. Hanya satu orang tentara Indonesia yang selamat dari serangan ini, karena dia bersembunyi dengan memanjat sebatang pohon kosambi yang tinggi.
Levantamento Ratih dibalas dengan kejam oleh tentara Indonesia. Hampir semua laki-laki dewasa di Kraras dibantai oleh tentara Indonesia, sehingga sesudah itu Kraras dikenal sebagai “desa janda.” Celestino dos Anjos, ayah Virgílio ditangkap dan ditahan tentara Indonesia. Tentara Indonesia juga menahan Alda (alias Bui Hare), istri Virgílio yang sedang hamil. Akhirnya kedua orang itu mati akibat tidak tahan siksaan dalam tahanan tentara Indonesia.
Setelah Levantamento, Virgílio dos Anjos kembali menjalani kehidupan sebagai pejuang Falintil di hutan. Pasukan Ratih yang lari ke hutan di bawah pimpinannya digabungkan dengan Ratih di bawah pimpinan Falur Rate Laek menjadi satu kompi, yaitu Kompi 3 Falintil. Falur Rate Laek menjadi primeiro comandante (komandan pertama) dan Virgílio dos Anjos menjadi segundo comandante (komandan kedua atau wakil komandan).
Dengan terjadinya perombakan dalam tubuh Falintil pada 1984, Virgílio yang selanjutnya menggunakan nama perjuangan Ular Rheik (kata-kata bahasa Tetun Terik, artinya: Ular Ganas), menempati posisi sebagai segundo comandante Unidade A yang beroperasi di kawasan timur, primeiro comandante-nya adalah Lere Anan Timor (sekarang Kepala Staf Angkatan Pertahanan Timor-Leste). Ketika pada 1996 Falintil merombak lagi wilayah operasinya, Comandante Ular Rheik mendapat tugas baru. Ia pindah dari wilayah timur ke barat karena Panglima Falintil Kayrala Xanana menunjuknya sebagai Comandante Região 4 (Komandan Wilayah 4). Waktu itu hingga perang berakhir pada 1999 Falintil membagi Timor-Leste ke dalam 4 região: Regiao 1 untuk Lospalos, Viqueque dan Baucau, Região 2 untuk Manatuto, Aileu, Manufahi dan Ainaro, dan Região 4 untuk Bobonaro, Covalima, Ermera dan Liquiça. Di bawah kepemimpinan Comandante Ular, Região 4 sangat rapih dan kuat dalam pengorganisasian jaringan clandestina, sehingga ketika Nino Konis Santana menggantikan Kayrala Xanana yang tertangkap tentara Indonesia pada 1992, ia pun menempatkan markasnya di Ermera yang berada dalam tanggungjawab Comandante Ular.
Tanggungawab sebagai Comandante Região 4 dipikul Ular Rheik hingga Falintil memasuki acantonamento (cantonment atau pengantongan) setelah Perjanjian 5 Mei 1999 mengenai referendum untuk menentukan masa depan politik Timor-Leste yang dilaksanakan Agustus 1999. Pada waktu itu, Panglima Falintil Kayrala Xanana mengeluarkan perintah melarang satuan-satuan Falintil melakukan penyerangan, suatu keputusan yang dengan berat diterima oleh Comandante Ular Rheik, karena waktu itu milisi-milisi anti-kemerdekaan justru sedang melakukan serangan yang luas terhadap penduduk sipil yang mendukung kemerdekaan. Masa acantonamento diperpanjang setelah Referendum dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. Hanya saja sekarang Falintil dari seluruh wilayah dipindahkan ke Aileu.
Pada 2001 dibentuk angkatan bersenjata yang baru untuk negara Timor-Leste Merdeka. Falintil menjadi tulang punggung Forças Defesa de Timor-Leste (FDTL – Angkatan Pertahanan Timor-Leste), yang setelah penyerahan kedaulatan dari PBB ke Timor-Leste namanya diubah menjadi Falintil-FDTL (F-FDTL). Ular Rheik pun mengikuti berbagai pendidikan militer di luar negeri yang diperlukan untuk membangun tentara profesional, yang sangat berbeda dengan tentara gerilya pembebasan nasional. Dalam F-FDTL, dia mendapat pangkat mayor, yang disandangnya hingga akhir hayatnya.
Meskipun di F-FDTL dia bertugas di staf umum sebagai kepala bagian administrasi keuangan, tidak berarti dia tidak mengurusi operasi. Ketika saat-saat membutuhkan ia kembali memanggul senjatanya. Misalnya ketika sepasukan milisi anti-kemerdekaan melakukan penyusupan dari wilayah Atambua masuk hingga Ermera di wilayah tengah pada tahun 2001, Komando FDTL menugaskannya memimpin operasi menghadapi mereka. Ia juga ditunjuk memimpin operasi ketika ratusan anggota F-FDTL yang melakukan desersi melakukan penyerangan tehadap markas F-FDTL pada Mei 2006. Ia kembali meninggalkan tugas administrasinya setelah terjadinya penembakan terhadap Presiden José Ramos-Horta Februari 2008. Komando F-FDTL memerintahkannya memimpin operasi di wilayah Ermera untuk mencari desertir F-FDTL anak buah ex-Mayor Alfredo Reinado Alves yang disangka melakukan penembakan tersebut.
Pejabat tinggi militer ini hidup sangat sederhana. Jika tidak berdinas, ia lebih sering mengendari sepeda motornya daripada naik mobil dinas. Ular Rheik meninggal dunia dengan meninggalkan istrinya, Jovita Araújo. Ular baru menikah kembali setelah perang pembebasan nasional berakhir pada 1999. Mereka dikarunia lima orang anak yang mash kecil-kecil, yang sulung sekarang berusia 8 tahun dan yang bungsu baru berusia 7 bulan.
Selamat jalan Comandate Ular, di jalan menuju sorga anda akan senang berkenalan dan ngobrol dengan salah satu anak terbaik bangsa Indonesia, Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia yang sangat lucu dan tidak anti-kemerdekaan Timor-Leste, yang ketika mengunjungi Timor-Leste meminta maaf atas penderitaan rakyat Timor-Leste akibat kesalahan keputusan politik pemerintah Indonesia di masa lalu.
Oleh :Nug K.
Dili, 7 Januari 2009
Kamis, Desember 31, 2009
Obrigado Nai....Obrigado Bei Ala sira no Obrigado Timor hau nia Husar fatin. ba Tinan 2009 hau nia tempo nebe hau husik ba iha hamnasa, hakilar, tanis, kontenti, triste no buat seluk nebe hau halo ona ba o....Ho laran triste no obrogado wain hau hato'o ba, karik buat hotu hau halo karik fo todan ba o, hau nia deskulpa ba iha kalan ne'e.
2009, los duni knar nebe hau halo karik la hotu fo kontenti ba O, maibe ho hau nia espirito no faun tomak hau dedika ona ba O, maske la hotu. O remata ona o nia knar tuir tempo nebe O iha. Obrigado ba O nia dedikasaun mai ami moris
1.jan'10
Jumat, November 27, 2009
Loron no Kalan
Loron no kalan dala barak nia tempo lahanesan, servisu halo ema barak haluha tempo,balun servisu iha loron uza tan tempo kalan nia no balun uza tempo kalan nia hodi halao servisu loron nia.
Rai fo nia an no marka nia tempo hanesan, loron la okupa tempo kalan nia i nune'e mos kalan la korupto loron nia tempo. Loron hahu husi 06.00 to'o 18.00. i kalan hahu 18.00 to'o 06.00 katak loron nia 12 oras no kalan nia 12 oras.
Karik mos ita hakarak atu muda oras...maibe ita sei la muda loron atu sai kalan no kalan atu sai fali loron.ita so bele muda deit ita nia aktifidade ba oras deit, tamba oras mos ita labele atu muda tuir ita nia hakarak.
Tamba sa mak ita sempre uza sala oras ?
1. tamba ita laiha manajamento diak ba ita nia servisu
2. tamba ita nunka atu respeita oras ?
3. tamba ita rasik laiha planu perfundu ba ita nia an
Rabu, November 25, 2009
Expresaun ba Presidente da Republika. Karik condecorasaun bele iha Lider Milisi Aitarak Euriko Guteres nia liman, tamba sa Maternus Bere Labele ? karik Maternus Bere bele halo ona nia servisu ho diak tamba Oho,Violasaun, Tortura,naok, sunu terus nain Suai nia. Estado fo liberdade ba Maternus ho razaun atu hetan buat barak husi Indonesia, maibe ida ne'e laos atu kura kanek nebe povo Timor hetan..
Terus nebe povo hetan husi invazaun no milisi nia hahalok seidauk lakon husi gerasaun ida ne'e nia hanoin. labarik barak oras ne'e sai oan kiak, laiha aman no moris iha kondisaun nebe la kondis ba sira.
Kriminozu hanesan Maternus Bere bele mai pasiar iha vitima sira nia oin, at liutan autoridade Justica sira kaptura Presidente ho nia puder fo fali libertasaun ba Maternus ho razaun nebe la logiku.
Sabtu, September 26, 2009
RAMOS NEGA, XANANA MONU?
Filipe Rodriguês Pereira*
Quinta-feira, 24 de Setembro de 2009
Kazu Martenus Bere nebe’e sai polemika bo’ot iha nasaun ne’e sei haduir a’an ba’a nafatin ho nia funan no renda-renda oi-oin. Mosu tan progresu foun, Presidente da Republika (PR) liu husi ninia encontro ho PGR, Dra. Ana Pessoa hateten katak la’os nia mak halo presaun ba’a Governo atu fo’o liberdade ba’a Martenus Bere. Deklarasaun ikus ne’e hanisik liu tan publiku. Kazu Bere nian ne’e atu fika paradu no lakon deit liu husi negasaun PR nian?! Karik PR, Ramos-Horta senti katak la’os nia mak halo presaun ba’a PM Xanana hodi liberta Bere, Ramos-Horta iha poder konstitusional tomak atu husu PM Xanana resigna a’an tamba PM Xanana viola ona lei no dignidade nasaun ne’e nian. PR, Ramos-Horta tenki iha korajen politika atu husu PM Xanana resigna a’an. Ka Ramos-Horta la’iha forsa moral atu husu Xanana resigna a’an tamba nia hatene nanis katak nia mak problema ne’e nia hun?!
Hahalok no lala’ok lideransa nasaun ne’e nian dalabarak ona mak hanisik publiku. Nisik tamba lideransa nasaun ne’e gosta leno nia matenek bosok hodi bosok nia propiu povu. Karik ita hakarak hare di-diak ba’a kotuk, PR, Ramos-Horta durante tinan rua nia laran sempre hato’o oferesimentu politika nebe’e todan ba’a governu tolan. Karik governu la kumpri maka PR buka halo ameasas oin-oin. Publiku sei lembra, tempu liu ba’a PR rekere atu Dr. Mari Alkatiri lidera Projeitu Mina Tasi Timor, iha OGE 2008 PR hakarak promulga OGE maibe nia fo’o kondisaun, Dra. Ana Pessoa tenki sai PGR. Foin dadaun, relasiona esbosu lei KAK nian, PR husu atu governu muda artigu balun iha esbosu lei KAK nian ne’e tamba PR hakarak oferese Dr. Rui de Araujo nia naran atu sai mos nudar komisioner ida ba’a KAK. Rona dehan, PM Xanana ikus aseita atu muda esbosu lei KAK ne’e tuir PR nia hakarak. Ikus dadaun ho kazu Bere, PR fo’o mos kondisaun, PR sei la marka ninia prezensa iha komemorasaun 30 de Agostu 2009 karik governu la liberta uluk lai Martinus Bere husi Detensaun. Tuir ema hotu hatene, atetude PR nian ne’e halo bainaka sira tenki hein PR durante horas ida resin nia laran atu hahu serimonia komemorasaun 30 de Agostu.
Maibe ikus mai, wainhira Tribunal Rekursu hasai komunikadu hodi dehan katak tuir lei, Kode Penal Timor-Leste nian so Tribunal deit mak iha k’nar atu bele fo’o liberdade no halo kapturasaun ba’a ema nebe’e komete iha krimi, se mak liberta priosioneiru ida husi detensaun maka nia sei hetan kastigu tinan 2 to’o tinan 6. Hakafodak ho komunikadu TR nian ne’e, PR ikus mai ho matan-mean-mean nega katak la’os nia mak halo presaun hodi husu governu fo’o liberdade ba’a Martinus Bere.
Duvidas mosu iha publiku nia let relasiona ho negasaun PR nian. Karik la’os ninia presaun, tamba sa mak PR atu lakohi marka ninia prezensa iha komemorasaun 30 de Agostu 2009?! Ajenda saida mak PR koalia iha encontru ida entres PR ho Lucia Lobato, Natersia no Longinhos antes de komemorasaun 30 de Agostu hahu?! Governu tenki responde tamba sa’a mak governu lori Bere ba’a entrega iha embaixada Indonesia nian?! PN tenki esplika, ho razaun no motivu sadia mak halo PN la fo’o vota a favor ba’a PR atu halo viagem ba’a Nova Iorke iha primeira plenaria?! Povu hein atu lideransa instituisaun seberanu iha nasaun ne’e bele esplika lolos sobre desastre ka eskandalu politika bo’ot ne’e. Ka sosiadade iha nasaun ne’e la’iha direitu atu hatene, no lideransa iha nasaun ne’e la’iha obrigasaun atu hatan?! Lideransa nasaun ne’e kala senti katak maioria povu iha nasaun ne’e sei hanesan ho povu nebe’e mak uluk kolonialista Portugues ukun iha tinan atus nia laran liu ba’a, povu nebe’e mak bele fiar no hare hahalok no lalaok bosok nebe’e lideransa sira hatudu ho kontente ba’a sira nia propiu povu. Ohin hakarak no koalia oin ida aban hakarak no koalia oin seluk, ohin hamutuk foti desizaun ba’a kazu ida aban buka nega ho matan-mean-mean. Karik foti desizaun ida ho razaun intereses nasional maka la’rasional wainhira loron ikus mai halai husi responsabilidade. Foti desizaun tamba intereses nasional ka atu salva intereses pessoal?!
Wainhira hare di-daik, PR nia negasaun sai nudar presaun nebe’e bo’ot no todan liu tan ba’a lideransa governu atu buka resolve kazu Bere ne’e. Karik negasaun ne’e mak la’iha baze nebe’e forte, ikus mai iha justifikasaun no evidensias ruma nebe’e hatudu katak PR halo duni presaun hodi fo’o liberdade ba’a Bere, maka bele mos halo kondensaun katak PR habosok mos publiku. Primeiru, PR viola lei hodi fo’o liberdade ba’a Bere, segundu, PR halo bosok publiku (kebohongan publiku). Nudar lideransa estadu nian keta tauk atu tama ba’a “prizaun”, no keta tauk bebeik ba’a nasaun seluk nia presaun. Hakait ho atu hakarak hakiak relasaun diak ho Indonesia, to’o ona (cukup) ho “presaun” nebe’e mak durante tinan 10 nia laran Timor-Leste falun diak teb-tebes ho intereses nasional nia naran hodi ikus harí CTF iha Bali. Relasiona kazu Bere, lolos lideransa nasaun ne’e buka atu hala’o politika diplomasia nebe’e a’as hodi husu mos Indonesia ninia kumpriensaun ba’a Timor-Leste ninia desizaun ruma nebe’e mak iha relasaun ho Indonesia, la’os simu bebeik no tolan tom-tomak Indonesia ninia presaun.
Ita mos presiza buka atu kumpriende katak ba’a kazu Bere nian, problema la’os katak maioria populasaun la ijiji justisa relasiona ho violasoins direitus humanus iha tinan 1999. Point importante iha kazu Bere nian mak, sosiadade senti nisik ho lideransa nasaun nia hahalok no lalaok nebe’e viola lei no dignidade nasaun ne’e nian. Dala ida’tan, Hakerek’nain hakarak sugere katak relasiona ho relasaun entre Timor-Leste no Indonesia, li-liu hakait ba’a issus nebe’e sensitivu nebe’e mosu iha pasadu, Timor-Leste presiza halo ratifikasaun ba’a rekomendasoins CTF nian, tamba wainhira PN sidauk ratifika rekomendasoins CTF nian maka legalmente rekomendasoins CTF nian sidauk bele uza atu regula nasaun rua ne’e nia intereses. Ba’a kazu henesan Bere nian presiza dudu mak esperitu rekonsiliasaun liu husi CTF nia rekomendasaun.
Relasiona mos ho kazu liberdade ba’a Bere, internalmente hatudu mos katak iha falta de koordenasaun entre lideransa instituisaun iha governu nia laran. Karik mak hatene iha ninia konsekwensia, husi inisiu lolos PNTL lalika halo kapturasaun ba’a Martinus Bere, ou parte imigrasaun Timor-Leste lalika fo’o vistu ba’a Bere hodi halo vizita ba’a Suai. Sa’a tan Bere nia vizita halo iha tempu nebe’e la kondis ho kondisaun iha nasaun nia laran. 30 de Agostu la’os loron vitoria nian deit, maibe 30 de Agostu sai mos loron ba’a povu terus nain, li-liu ba’a familia vitima sira atu halerik hodi hanoin hikas sira sofrimentu no susar. Tamba ne’e, la’os depois fo’o tiha vistu ba’a Bere tama, PNTL halo tiha kapturasaun, Hassan Wirayudah halo presaun hodi lakohi marka ninia prezensa iha komemorasaun 30 de Agostu, no mosu issu nebe’e dehan fronteira atu taka mak halo lideransa nasaun ne’e ho imidiatamente liberta Bere husi detensaun. Indonesia la’os foin dala ida halo ameasas ka taka fronteira. Buka haka’as a’an atu so’e ka simu faktor fronteira sai nudar frakeza, tamba Indonesia bele uza fronteira sai nudar tronfu ba’a ninia bargaining politika. Timor-Leste ninia istoria hatudu ona katak Timor-Leste infrenta no hakur liu ona invazaun bo’ot husi Indonesia. Kasian, ho deit ameasas taka fronteira halo lideransa nasaun ne’e namlele a’an. Karik Indonesia taka duni fronteira maka Ministro NEC, Zacarias Albano ho ninia ekipa mak tenki halo esforsu hodi lobby ho Indonesia. Ka Ministro Zacarias lakohi hakas a’an hala’o diplomasia ba’a nasaun ne’e nia intereses?!, teki-teki Hassan Wirayudah telfone ba’a Ministro Zacarias no hateten, karik la liberta Bere maka nia sei la marka ninia prezensa iha komemorasaun 30 de Agostu, no mosu deit issu atu taka fronteira halo Ministro NEC ne’e la hanoin naruk maibe fo’o fali input ba’a lideransa nasaun ne’e hodi viola lei no dignidade nasaun nian.
Viola lei no dignidade nasaun nian relasiona ho kazu Bere nian ikus fo’o mos ninia implikasaun ba’a lideransa governu no estadu nia existensia. Wainhira PR, Ramos-Horta nakfilak ninia a’an sai ba’a Pilatus nebe’e fasi-liman ba’a buat nebe’e akontese maka politikamente Fretilin nudar Partidu Opozisaun iha PN deside atu hato’o Mosaun de Sensura ba’a lideransa governu nian. Sei la logiku no rasional wainhira Partidu Opozisaun sira la bo’ok a’an atu proseza kazu ne’e tuir mekanismu nebe’e lei no konstituisaun permite. Maski husi inisiu Partidu Opozisaun sira hatene mos katak politikamente sira i’is lato’o atu hamonu governu AMP, dalaruma bele hamonu lideransa governu AMP. Ka topu lideransa AMP fizikamente la monu maibe moralmente bele monu, tamba maioria distintus deputadus iha PN sei defende buat nebe’e mak sala. Mosaun de Sensura husi Fretilin no Partidu Opozisaun seluk bele hamosu mos objetivu inderectu ida, fo’o influensia hodi hamonu mos moral husi sosiadade nebe’e mak iha eleisaun liu ba’a suporta harí governu AMP. Maibe, bele mos akontese, ikus mai iha PN bele mosu movimentu politika foun hodi hamonu PR no PM dala ida, tamba konserteza PM sei la’husik a’an atu monu mesak, PM bele dada mos PR atu sira nian-rua monu rame-rame.
Hakerek’nain mos hakarak hateten, kazu fo’o liberdade ba’a Bere la’os kazu ki’ik, kazu ne’e kazu ida grave nebe’e fo’o ninia implikasaun politika no legal bo’ot no luan ba’a nasaun ne’e nia existensia iha prezente no mos ba’a futuru. Lideransa governu no estadu viola lei no viola prisipius separasaun de poder nebe’e sira rasik harí iha nasaun demokratiku ne’e, halo intervensaun ba area judikativu. Tamba ne’e hodi intereses nasional nia naran, presiza duni toma medidas politika no legal nebe’e konstitusional, por ezemplu liu husi Mosaun de Sensura ou medidas legal sel-seluk tan atu husu responsabilidade husi lideransa governu no estadu. Lideransa governu ka estadu monu ka sei la monu la’os problema prinsipal. Importante mos mak, presiza kria kultura politika nebe’e diak no forte iha nasaun ne’e, no ba’a oin istoria mos bele hakerek katak povu nasaun ne’e la’os povu permisivu, povu nebe’e mak bele hare no simu ho kontente hahalok no lala’ok a’at lideransa nasaun ne’e nian nebe’e mak dalabarak gosta viola moral, etika no lei iha nasaun ne’e nia laran. ***END*** (artigu ne'e hatun mos ona iha Timor Post, Edisaun 25/9/2009)
*Analista Politika no Sosial husi Forum Sivika Timor-Leste, Dili
Langganan:
Postingan (Atom)