Minggu, April 08, 2012

Operasi Seroja ( Timor Timur, 1975 – 1979 )

Jun25 by suciptoardi Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU. Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan “Operasi Komodo” yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit). Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi “Operasi Flamboyan”. Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi “Operasi Seroja”. Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya. Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan. Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. “Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor,” kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat). Gunship Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara. Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. “Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan,” ingat Marsda (Pur) Suakadirul. Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. “Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang,” katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. “Sebagai panutan, lah.” Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. “Satu pesawat memuat 100 orang,” jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya. Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat. Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi. T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan). Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit. Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang. Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan. Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono. Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service. Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship. Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember. Go! Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan. Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing. Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. “Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro,” protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. “Saya tidak mengerti soal itu,” jawab Suakadirul. Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. “Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized,” cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. “Saya berada pada ketinggian 900 kaki,” ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki. Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, “2 menit ahead.” Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. “Kerongkongan saya mendadak kering,” ujar Suakadirul. Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. “Penerjun siap?” Dilanjutkannya dengan perintah, “Sedia di pintu!” Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. “Go!” Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit. Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur. Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, “terpaksa” menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan. Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan. Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. “Ternyata cuma kopi.” Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305. Salah tembak Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan “Merah Putih”. Untung lagi, tidak ada korban. Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga. Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia. Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. “Ditembak sniper,” ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul “Drop Zone Dili”, 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan. Sumber: Indonesiakemarin

Operasi Seroja Tinggalkan 1001 Kisah

by suciptoardi Timor Timur mempunyai 1001 kisah. Tapi sepertinya Operasi Seroja menjadi cerita yang paling berwarna. Bukan hanya bagi para pelaku operasi militer itu dan keluarganya saja, atau bagi para korban. Tapi bagi seluruh masyarakat Timtim. Bagaimana tidak? Karena keberhasilan Operasi Seroja, Timtim masuk menjadi bagian dari wilayah NKRI selama 23 tahun. Suatu babak baru dalam kehidupan warga Timor Timur setelah bertahun-tahun ada di bawah dominasi Portugal. Dari sisi pelaku Operasi Seroja dan keluarganya, kesuksesan operasi berhasil mencuatkan nama, pangkat, dan karier militer. Tapi Operasi Seroja juga membuat keluarga pelaku pedih menderita. Banyak keluarga yang ditinggal mati ayah, suami, kakak, adik, dsb. Atau keluarga harus menanggung kecacatan mantan pejuang Seroja seumur hidup. Kisah Operasi Seroja, benar-benar menjadi kisah yang hidup. *** Ayah teman karib saya, yang juga mantan pejuang Seroja amat suka bercerita tentang pengalamannya menjalankan tugas operasi Seroja di Timtim. Almarhum yang rajin membuat catatan-catatan kecil itu, bangga dengan tugas yang dipikulnya, meski taruhannya nyawa. Para pejuang Seroja begitu ikhlas menjalankan operasi sebagai bagian dari tugas abdi negara. Kisah itu berawal dari persiapan pleton I Kompi MORBE 120 detasemen bantuan tempur Brigif II KTD-AD yang akan berangkat melaksanakan tugas Operasi Seroja di Timor Timur. Selasa, 7 Oktober 1975, pasukan berangkat dengan menggunakan KRI Wakolo dan KRI Nuburi. Perjalanan laut itu memakan waktu tujuh hari. Akhirnya perjalanan laut yang membosankan pun berujung di pelabuhan Atapupu, Atambua, NTT. Sambil mempersiapkan segala sesuatunya, pasukan diberi kesempatan beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kondisi. Menjelang operasi dilakukan, berbagai hal yang berkaitan dengan militer ditanggalkan. Kecuali senjata. Pasukan bergerak sebagai relawan berkostum jeans. Waktu itu, “pasukan relawan” ini sering disebut sebagai The Blue Jeans Soldier. Sasaran utama operasi adalah merebut dan menduduki kota-kota dan objek-objek penting yang dikuasai Fretilin. Maliana sampai Bobonaro dan Benteng Batugade menjadi target operasi perdana. Khusus untuk penyerangan Benteng Batugade diserahkan kepada pasukan Marinir AL. Sementara penyerangan dari Maliana hingga Bobonaro ditangani Yonif 507 dan Yonif 527. Operasi berjalan lancar. November 1975, benteng Balibo dapat direbut dan dikuasai pasukan Kopassanda. Sasaran berikut adalah markas kavaleri Fretilin di Atsabai. Pertempuran seru terjadi di sini. Korban berjatuhan dari masing-masing pihak. Namun, markas kavaleri Fretilin berhasil direbut dan dikuasai. Catatan tentang pertempuran seru hampir tak pernah terlewatkan. Salah satunya, pertempuran seru antara pasukan infantri ABRI dengan Fretilin yang terjadi di Suai, dua hari setelah Natal, Sabtu, 27 Desember 1975. Pertempuran lainnya yang juga seru, terjadi saat menyerbu Baucau. Penyerbuan selama 11 hari itu, 18 hingga 29 September 1976, cukup menghabiskan energi kedua belah pihak. Sebagian pasukan untuk penyerbuan Baucau diangkut menggunakan KRI Teluk Langsa. Tank-tank amfibi Marinir mendarat di pelabuhan Laga mengepung dari sudut-sudut pantai. Infiltrasi ke kota Baucau inilah yang menjadi ajang pertempuran dahsyat. Setelah pelabuhan dan Kota Baucau dapat dikuasai, maka penyerangan dilanjutkan untuk merebut bandara udara Baucau. Akhirnya kota perdagangan Baucau berhasil dikuasai ABRI. Sementara tentara Fretilin yang tersisa lari ke hutan-hutan dan pegunungan di luar kota Baucau. Ibukota Dili di awal Februari 1976 telah berhasil direbut dan dikuasai ABRI tapi tidak berarti kota lain dengan mudah ditundukkan. Letupan-letupan kecil masih terjadi di mana-mana. Kota besar terakhir yang berhasil dikuasai ABRI adalah Los Palos. Pertempuran besar terakhir, 1978 yang dramatis. Berhari-hari Los Palos yang merupakan basis Fretilin itu dikepung. Dalam pertempuran terakhir itu, Fretilin mengalami kekalahan telak. Sekitar 3.000 tentara Fretilin berhasil ditawan. Banyaknya korban warga sipil yang tewas, merupakan akibat dari strategi tentara Fretilin yang menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup. Jatuhnya Los Palos, seolah menjadi pertanda selesainya Operasi Seroja. Sayang, sang pelaku sejarah itu telah meninggal empat tahun lalu. Namun, catatan-catatan kecilnya sangat membantu kita mengetahui gambaran peristiwa saat itu. Operasi Seroja mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Sugama, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari Operasi Militer bersandi Seroja itu. Sebenarnya masih ada lagi, intelijen yang pertama kali masuk wilayah Timtim 1974, Aloysius Sugianto. Nama tokoh terakhir ini, nyaris tak pernah disebut-sebut. Padahal andilnya sangat besar, ketika melakukan operasi Komodo. Sebuah operasi khusus intelijen yang mengedepankan pendekatan sosio-politis, sebelum dilakukan operasi militer Seroja. Banyak prajurit berperanan penting dalam operasi militer Seroja 1975-1978 itu. Namun mereka nyaris ‘tak dikenal’ dan ‘tak dikenang’. Karena mereka hanyalah ‘prajurit biasa’ bukanlah komandan. Tapi keterlibatannya dalam upaya menyatukan Timtim masuk dalam NKRI tak bisa dianggap tiada. Amir Siregar dulu ikut berjuang juga di Timtim. Aktivitasnya kini, lebih banyak berkubang dengan urusan koperasi. Hari-harinya diisi dengan mengurusi koperasi veteran penyandang cacat. Amir Siregar bukanlah orang biasa. Pria tegap yang kini telah berumur 64 tahun itu, lulusan AKABRI angkatan 1968. Selama dua tahun, sejak 1975 hingga 1977, Amir ditugaskan di Timor Timur untuk menumpas kelompok Fretilin. Tahun 1978, Amir kembali berangkat ke Timtim untuk tugas yang kurang lebih sama. Ketika bincang-bincang dengan Liputan6.com, Amir mengungkapkan betapa perhatian pemerintah terhadap para veteran Seroja sangat kurang. Perjuangan para prajurit dalam operasi Seroja yang dilakukan dalam menunaikan tugas negara, tak lagi mendapat tempat di hati para prajurit muda seperti sekarang ini. “Kondisi ini sangat disayangkan!” katanya, di sela-sela persiapannya menuju masjid untuk melakukan salat Tarawih, Senin (31/8) malam. Amir Siregar yang dulu bergabung dengan batalyon Kostrad brigif 18 Malang itu menyesalkan kejadian pembakaran lencana satya, penghargaan dari negara. Peristiwa yang terjadi 2002 silam itu, tidak semestinya dilakukan oleh para veteran, meski sangat kecewa terhadap pemerintah. Peristiwa pembakaran lencana setya itu dilakukan para veteran, Minggu (19/5/2002) malam pukul 22.00, saat acara perenungan keprihatinan di kompleks veteran Seroja Bekasi. Peristiwa itu disaksikan para veteran Seroja, keluarga, dan warakawuri janda-janda veteran. “Mereka tidak dendam pada pemerintah, tapi kecewa!” kata Amir. Menurut Amir, bukan soal besaran tunjangan yang diberikan tiap bulan sekitar 250-300 ribu rupiah atau tunjangan bagi veteran cacat yang tidak turun juga hingga kini, tapi soal pengakuan eksistensi pemerintah. Itu yang belum ada sampai sekarang. Para veteran Seroja hanya berharap, perjuangan mereka di Timtim dulu dihargai. Kini sedikitnya terdapat 350 KK veteran Seroja yang tinggal di Kompleks Seroja Bekasi. Mereka bekerja macam-macam. Ada yang jadi sopir angkutan umum, pedagang, pekerja serabutan, dll. Semuanya itu sekadar untuk bisa melanjutkan kehidupan yang memang tak boleh berhenti. Bangsa yang luhur adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Dan…Indonesia, masih belum mampu melaksanakannya.(VIN) Sumber: Liputan 6

Jumat, Maret 09, 2012

TROICA POLITICA

Antero Benedito da Silva, Peace Center-UNTL TROICA politika refere ba: Presidenti Republika, Presidenti Parlamentu Nasional no Primeiru Ministru. Kualker Partidu ou koligasaun Partidos Politika, ne’ebe atu troka rejime politika iha Timor, sira tenki iha konseitu politika kolektivu TROICA. Karik Presidenti Republika ou Parlamentu Nasional mak mai husi bloku Politika rua mak la hanesan instabilidade politika sei karakteriza rejime ne’e. Tinan 2001 Timor oan sira halo protestu maka’as kontra ONU, tanba autoritarianismu karakteriza ukun ONU nian. Poder politika hotu; eksekutivu, lejislativu no judisiariu hotu iha Matebian Sergio Viera de Melo nia liman. ONU admite Conselho Nacional (CN) ne’ebe reflete bloku politika sira iha CNRT nian, maibe Lider UDT Matebian Manuel Carrascalao manan tiha lider historika Dr. Jose Ramos Horta iha votasaun interna Presidenti CN nian. Hafoin, Presidenti CNRT Xanana Gusmao la bele mos kaer Poder Eksekutivu hamutuk ho Sergio Viera de Melo. ONU iha kontrola tomak ba sistema judisiariu ho mandatu ida mak crimos graves ne’ebe mos heranca 24 anos okupasaun Indonesia nian. Iha forum hotu-hotu, liu-liu Forum Donor sira nian, Timor oan sira koalia kona Timorisasaun, katak tranferensia poder ba rejime politika ida ne’ebe aseguru autoridade politika iha Timor oan sira nia liman, lais liu diak liu. Maibe Timor rasik seidauk hetan formatu politika ida ne’ebe bele koresponde situasaun ne’e tanba laiha kompromisu atu rekonese KONSTITUISAUN RDTL I nian ne’ebe mos ho sistema Semi-Presidensial. ONU adopta eleisaun multi-partidaria ba Asembleia Konstituante fulan Agusto 2001, hafoin mak Timor oan sira tetu no defini semi-presidensial nu’dar sistema politika RDTL nian ohin loron. Bain-hira UNTAET transfere autoridade politika ba FRETILIN tinan 2002, Troica Politika kompostu husi Lider Historika Xanana Gusmoa nu’dar Presidenti da Republica, Presidenti FRETILIN Franscisco Guterres Lu-Olo sai nu’dar Presidenti Parlamentu Nasional no Lider Historika Mari Alkatiri kaer kargu Primeiru Ministru. Rejime ne’e duro ba tinan hat deit husi Maio 2002-Junu 2006, tanba sentimento anti-FRETILIN sei persistenti tebes, no resulta iha krise 2006. Se it hare didiak, Presidenti Xanana Gusmao iha konsistensia hodi apoiu FRETILIN, bele auventa to’o kuaze tinan hat nia laran. Ida ne’e akontese tanba sira hotu lider FRETILIN ho intensaun ida deit mak konsolida independensia. Mas rejime ida ne’e monu tanba: figura Mari Alkatiri monu, depois de Igreja Katolika hamosu kestaun sektarianismu; divisionismu interna FRETILIN; frakeza interna governansia FRETILIN nian iha area balun no tanba ejistensia inimigu antigu FRETILIN nian. Tinan 2007, FRETILIN konsegue manan fila fali eleisaun maibe, la aseguro maioria absoluta no mos la hetan formula TROICA politika, tanba Lider Xanana Gusmao no Dr. Ramos Horta sai ona adversariu politika FRETILIN nian. Formula Troica alternativu mak prense husi Jose Ramos Horta, La Sama no Xanana Gusmao. Ejiste tensaun politika entre sira tanba ida-idak ho nia tendensia, maibe sira aseguru duni rejime politika ida to’o oin loron. FRETILIN halo oposisaun parlamentar, depois de reflesaun Holarua, ne’ebe hamosu fasifikasaun politika alias Marca da Paz. FRETILIN hala’o kna’ar diak nu’dar oposisaun, no konsegue rekopera imajen lideransa FRETILIN nian liu husi sistema eleisaun direta. Maibe, FRETILIN seidauk bele aseguro ukun iha tinan 2012, tanba Kongressu datolu FRETILIN seidauk hamosu figura politika TROICA ninian. Oras ne’e FRETILIN sei iha nakukun hela. Konsistenti ba teza eleisaun multi-partidariu nu’dar dalan ba mudansa rejime politika, no tanba mos performansia politika Governu AMP ohin loron ne’ebe at tebes, mudansa rejime politika sai nesesidade ho objektivu estratejiku: edukasaun partido sira kona oposisaun nao-antagonistika, no kria dinamika politika foun. Eis Lider F-FDTL Brigadeiru Taur Matan Ruak loke ona dalan ba FRETILIN no partido politika sira atu defini Troica lideransa. Kaulker Partido Politika ne’ebe manan bele servisu ho Senhor Taur Matan Ruak nu’dar parserru, tanba nia mai husi Instituisaun F-FDTL ho kredibilidade a’as tebes. Ne’e indika katak mos FRETILIN la presiza kandidatura Presidenti seluk. Publika husu se mak sei presene posisaun Presidenti Parlamentu Nasional no Primeiru Ministru. Iha momentu ida ne’e, FRETILIN iha vantagem liu. AMP iha krise nia laran: Jose Luis nia kazu seidauk final iha tribunal, Mario Carascalao sai ona husi formatu Xanana Gusmao nian, no alegasaun korupsaun kona kauze Ministro hotu iha AMP nia laran. Situasaun ne’e sei obriga mudansa rejime. Dalan nakloke ba Dr. Mari Alkatiri, maibe nia deklara ona katak nia laiha ambisaun fila ba kargu Primeiru Ministro. FRETILIN nune’e, buka formula seluk atu bele hadau tan votus. FRETILIN fo apoiu ba Senhor Taur Matan Ruak ou lalika iha kandidatura Presidenti Republika hanesan eleisaun 2002 nian, no avansa Dr. Lu Olo nu’dar Primeiru Ministro akompanhadu ho Vice Primeiru Ministro sira ne’ebe kompetente. FRETILIN no nia aliadu sira tenki konsolida-an ho diak hodi bele manan iha eleisaun interna Presidenti Parlamentu Nasional, ne’ebe sei la fasil mos, hodi FRETILIN bele aseguru sustentabilidade nia rejime rasik. Dr. Mari Alkatiri bele hili atu sai Presidenti PN ou kaer Pasta Ministro dos Negocios Estranjeiros, hanesan mos istoria Hillary Clinton iha Amerika no Kevin Ruud iha Australia. Dr. Ramos Horta bele kaer kna’r ruma iha area Pos-Gradusaun (Doutoramento no Maestrado) iha UNTL, tanba formasaun umana sai kestaun importante iha RDTL, maibe karik ONU mos sei presiza nia halo servisu iha nivel internasional nian ne’ebe sei importante mos ba internationalizasaun Timor.

Pahala

Saat kau memandangnya ia bersinar merasakan kasihmu Saat kau mendengarkannya ia sempurna menjadi ciptaan Saat kau berbuat ia tergerak untuk saling menghidupkan Saat perjumpaan kita merasa tercipta dari tanah yang sama Cirendeu, 19 Juli 2011

Dosa

Sesuatu yang kau rampas dari ciptaan lain hingga ia lapar hingga ia takut hingga ia tak bisa berpikir hingga ia tak mampu menyinta hingga ia tak sanggup berpengharapan hingga ia membunuh dirinya Cirendeu, 19 Juli 2011

Agama Baru

Waktu anak-anak jatuh cinta pada raksasa mall tanah dan air diperjualbelikan jangan takut pada dunia tetaplah hidup sebutuhmu, bukan sebutuh pedagang tamak Waktu pedagang sekolah berwajah Islam waktu pedagang rumah sakit berbahasa Arabi jangan tergila-gila surgawi tetaplah hidup sebutuhmu, bukan sebutuh pedagang tamak Mesin produksi punya seribu rupa dari barat hingga timur, dari utara hingga selatan jangan tertipu politik dagang tanamlah apa yang bisa kau tanam, rawatlah setiap yang bisa dirawat Dewi Nova pada 2 Januari 2012 pukul 1:16 · Cirendeu, 19 Juli 2011

Serapah Puan

Puan, mengapa kau kalungkan medali kepada lelaki yang merangsakku di atas ranjang hak asasi manusia Menceraiberaikan ikatan ovari kita Kusaksikan puan-puan mengimpunitas dia sambil mengulum palusnya seolah tak ada loli yang lebih madu Indonesia yang tak lagi raya, Februari 2012 Ingin bersetikar dengan Serapah Ibu Sandra Palupi #Dewi Nova# pada 9 Februari 2012 pukul 5:29