Minggu, Februari 08, 2009
Aku menangis untuk adikku 6 kali
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,
dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,
Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian
berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan
berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia
terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu
bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah
sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan
kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan
air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki
cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah
akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku
berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia
lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,saya
diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu,
ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan
hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air
matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah
dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah
cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan
memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka
adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan
jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak
lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh
dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping
ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan
uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada
punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di
universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku
berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor
tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu
tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,
tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku
menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat
dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah
adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca
jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah
adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat
mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap
waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali
suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku
tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen
pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk
memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,
dan masuk rumah sakit. Suamiku dan
aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa
kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur,
dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,
berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga
karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam
tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang
gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati
dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD,
ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan
selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena
cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak
hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga
kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu
memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan
kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti
sungai.
Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"
Sabtu, Januari 17, 2009
We Will Not Go Down (Song for Gaza) - Michael Heart
We Will Not Go Down (Song for Gaza) - Michael Heart
Kita berhenti sejenak dan dengarkan lagu yg di-compose oleh Michael Heart Musisi asal Amerika. Dirilis Gratis oleh Michael.
Judul: We Will Not Go Down (Song for Gaza)
Lyrics:
A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they're dead or alive
They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who's wrong or right
But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In the night, without a fight
We will not go down
In Gaza tonight
Jumat, Januari 16, 2009
Parlamentu Ba Povu...??? KA........... PARLAMEN PAJERO...!!!
Expresaun Estudante sira, wainhira PN la tuir ezijensia nebe Estudante sira hato'o iha PN nia oin.....karik estudante la konsidera ona hanesan elemento povo nia nebe hato'o sira nia opinaun ba PN.... PN ho arogante hodi sosa nafatin Careta Pazero ba sira an rasik.....(iha okos Studante sira nia Deklarasaun ba PN)
Nudar ita hotu hatene katak Parlamentu Nasional nia papel mak produs, debate lei no halo fiskalizasaun. Nudar instituisaun hodi kontrola Governu no sai mos hanesan lian povu nian. Buat hirak ne lao tuir konseitu separasaun poder no hanesan kultura natureza iha fenomena klima demokrasia nia laran. Se ita hotu akompanha no monitoria lalaok iha Parlamentu Nasional duranti tinan 2008 too mai iha inisiu fulan Janeiru 2009, ita hatene momos saida mak sai prioridade ba membru Parlamentu sira. Komesa husi pensaun vitalisia, imunidade, ajensaun taxa, no dadaun KARETA PAJERO sai asuntu nebe debates namanas hela, no ikus mai mosu fali debates ba aumenta deputadu sira nia SALARIU. Nudar sidadaun ba rai ida ne’e, ita iha obrigasaun moral atu kontrola instituisaun estadu hodi hametin demokrasia. Ita nia direitu laos deit partisipa iha eleisaun maibe importante liu mak atu tau matan nafatin ba ema sira nebe ita hili ba. Se karik, nasaun persiza ita iha tempo eleisaun no la persiza tan ona bainhira eleisaun liu tiha, hanoin katak ema barak lakohi atu tuir festa eleisaun. Importante liu mak ita dehan nafatin ba sira atu ukun tuir ita hotu nia hakarak hanesan buat nebe konsagra iha Konstituisaun RDTL no laos tuir deit ukun nain sira nia hakarak. Ho ida nemak hafoin ita hanaran “demokrasia”. Maibe hanesan ita hotu akompahna katak, afinal Parlamentu ne’e hanesan “Majelis Buka Lukru” tamba nakonu ho intrese hodi hetan imunidade, ajensaun taxa, pensaun vitalisia, kareta pajero, no deputadu sira barak mak hahu hodi hein atu aumenta tan sira nia salariu nebe mak minimu dollar rihun 3 ba leten kada fulan (inklui perdiem vizita ba rai liur no rai laran, pulsa telefhone, osan transporte loro-loron nian, no osan asinatura). Karik ita bele imajina, sa kondisaun mak sei akontese, se bainhira povu nia rendimentu semana ida mak hafoin balu hetan centavos 50, maibe deputadus sira nia salariu a’as too lalehan. Karik ida nemak ita hanaran reprezentante povu.........? povu ida nebe mak sira reprezenta ba.........?
Tamba ne, nudar jerasaun indijinius (rai nain) ba nasaun ida ne’e no hana’i ba rai ida ne’e, ami konsiente tebes katak; ho lalaok nebe mosu iha Parlamentu Nasional dadaun ne’e, sei la eduka povu, sei la liberta povu husi kiak no mukit. Hahalok ho modelu intrese pesoal atu ha’riku sira nia a’an ne’e faz parte esplora povu no invade fali nia povu rasik nebe sei kiak, sei beik atu beik no kiak ba nafatin.
“Konseitu libertasaun povu, ne sai hanesan retorika baratu, hodi aproveita supa riku soin rai ne nian, hodi habokur induvidual no familia liu husi manobra no slogan politika mafiozu.”
Tau matan ba, identifika ba, se-se mak sai duni iha intrese ba povu nia sofrementu durante ne’e...??? hamutuk ho ita hotu iha responsabilidade atu hateten ba se deit nebe mak ukun atu tuir hodi tau uluk povu nia nesesidade ho honestu! A Luta.........!!!
Dili, 12 Janeiru 2009
Sekretariat Dapur Front Mahasiswa Timor Leste
(Hakarak fo ideia, sujestaun no kritika ruma, bele kontaktu : 734 5564 / 728 9241)
Kamis, Januari 15, 2009
Tulangku belum kau angkat
By: Quims
Saudara aku masih disini tempatku dulu
Tempat dimana waktu aku tertembus peluru
Aku masih memakai seragam kucamku yang aku rebut dari seorang serdadu Indonesia
Masih ingatkan…..saudaraku
Dibawah pohon kelapa aku tertembus pelor dan aku terduduk, tak sadar apa yang terjadi terhadapku, setelah lama aku sadar kalian sudah meninggalkan aku sendirian.
Waktu aku memangil kalian tak seorangpun yang mau mendengarkan aku.
Hanya aku dengar percakapan diantara kalian yang sedih dan tak bersemangat untuk berjalan diantara kalian sempat berdoa untuk para arwah entah untuk siapa
Setelah sekian lama baru aku sadar bahwa apa yang kalian doakan untuk aku
Ya aku telah mati
Tapi kalian belum membawah tulang ke kota bersama teman-teman
Apakah kalian lupahkan aku
Ingat dong saudaraku aku masih ditempat yang dulu belum pindah posisi
Aku juga pingin di kota, kita kan sudah merdeka ya kan
Merdeka……merdeka…….merdeka…………..
Tolong tulangku diangkat juga.
Jeritan Arwah Kemerdekaan
By. Hilde Wondeng
Hai…..Penerusku
Ingatkah kau saat kita masih bersama
Kita ikrarkan panji kemerdekaan.
Kita bersumpah demi negeri ini untuk kemerdekaan. Kita berjanji bahwa akan membebaskan rakyat dari imperialisme dan sekutu – sekutunya. Masih ingatkah……….
Hai saudaraku…………….
Masih ingatkah waktu kita sama – sama menyaksikan penderitaan rakyat, ditindas, diperkosa, dibunuh dan hak – haknya dirampas.waktu itu apa yang dapat kita lakukan…hanya air mata dan hati yang memjawab “aku akan membebaskan negeri ini dan semua kebiadaban manusia tak bermoral”.
Hai saudaraku ……………………..
Ingatkah kau waktu kita diserang musuh, saat salah satu dari kita harus meninggalkan kita karena tertembus peluru musuh dimana saat itu kau terpanah menatapnya dengan tatapan kosong. Dan ingatkah kau dia menitipkan kata – kata perpisahan untuk kita….
“ pergilah biarkan aku disini bersama tanah ini, biarkan aku kembali padaNya…..pergilah perjuangkan tanah ini agar kelak anak negeri bebas dan menikmati kedamaian”.
Hai saudaraku………………………
Ingatkah kau….waktu dalam sergapan musuh dan aku tertembak musuh……….kamu berjanji padaku disaat nafasku untuk yang terakhir, kamu menguatkan semangatku dengan berjanji padaku bahwa kamu akan terus berjuang demi tanah air dan rakyat ini, untuk mencapai cita-cita luhur dan ingin negeri ini hidup dalam kedamaian, kemakmuran dan kebebasan kelak.
Saudaraku aku sangat terhibur saat itu…………sampai saat ajalku aku masih mendengarkan kamu………dalam kebekuan jasadku aku bangga dengan ucapanmu………….
Kini aku datang padamu saudaraku………..aku datang bukan untuk meminta sesuatu atas perjuanganku dulu………… aku datang untuk menagih janji – janji yang perna kita ikrarkan dulu dan yang kau janjikan diatas jasadku.
saudara ku ........................ penuhilah itu, aku tak minta lebih yang aku minta adalah damaikan mereka, jangan ada perbedaan diantara mereka, mereka belum fahan tentang perjuangan luhur para pahlawan.
Saudaraku Aku Minta Maaf
By : Quims
Saudaraku ………………….
Seandainya masih ada nuranimu tolong maafkan aku
Seandainya masih ada setitik perasaan tolong hentikan permusuhan
Seandainya masih ada cinta tolong tipiskan perbedaan
Sebab kita adalah saudara.
Orang mengenal kita karena kita sedarah.
Orang mengenal kita karena kita sawo matang
Orang mengenal kita karena sebangsa
Orang mengenal kita karena kita sama-sama memperjuangkan tanah ini untuk kebebasan.
Saudaraku…………………..
Maafkan aku jika aku menyakiti perasaanmu
Maafkan aku jika aku perna menfitnahmu
Maafkan aku bila perna merampas bagianmu
Saudaraku………………….
Segala dosa dan kelakuanku telah kubayar
Harta benda dan nyawa adalah harganya.
Hinaan, caci maki, telah ku terima…………
biar kujadikan harta yang baru. Akan kusimpang dihatiku.
Saudara………………….
Jika kita masih saudara……….hentikan pertikaian antara kita
Jika kita masih anak Tuhan tanamkan cinta kasih pada sesama
Jika kita masih beridentitas orang Timor, mari kita tinggalkan kata Lorosae – loromonu dan menyebut Timor ida deit.
Berikan Aku Alasan Untuk Meragukanmu
31 Mar 2008 Oleh: Kenzt dalam: Prosa KenzT
Aku mengerti saat kau mengatakan masih mencintainya, masih terkenang oleh segala kelebihannya, hingga mungkin di hati kecilmu terselip ingin untuk menantinya sebagai sebuah ruang waktu untuk kesempatan kedua.
Dari situ, aku pun akhirnya mengerti bahwa ternyata kini diriku sudah tak lagi memiliki arti selain seorang teman untuk berbagi. Kau memang tak pernah mengatakan lugas padaku adakah rasa denganku dulu masih tersimpan hingga kini, namun semua tutur singkatmu tentang seseorang yang berarti di hidupmu tak sedikitpun lagi mengisyaratkan sosok diriku disana. Meski dulu kau senantiasa mengucapkannya.
Ingin sekali aku meragukan harapanku, namun semua ucapan dan janjimu dulu tak sedikitpun kuragukan meski sekian tahun kenyataan seperti berbeda dari semua yang pernah kau ucapkan.
Sempat aku goyah untuk menanti satu kali lagi datangnya waktu agar bisa bersamamu. Namun ternyata aku selalu saja takut kau datang setelah aku berhenti menunggu. Sungguh, tak ingin kumengecewakanmu, sebab ku tak pernah lupa janjiku dulu.
Berikan aku alasan untuk meragukan semua ucapanmu dulu. Berikan aku satu jawaban pasti, sekalipun kita berdua tahu bahwa “Jodoh dan mati hanya IA yang tahu”.
Langganan:
Postingan (Atom)