Senin, Februari 14, 2011

“Disini Jual Ikan Segar”

Seseorang mulai berjualan ikan segar di pasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan” Disini Jual Ikan Segar”. Tidak lama kemudian datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisannya. “Mengapa kau tuliskan kata: DISINI? Bukankah semua orang sudah tahu kalau kau berjualan DISINI, bukan DISANA?” “Benar juga!” pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata “DISINI” dan tinggallah tulisan “JUAL IKAN SEGAR”. Tidak lama kemudian datang pengunjung kedua yang juga menanyakan tulisannya. “Mengapa kau pakai kata SEGAR? Bukankah semua orang sudah tahu kalau yang kau jual adalah ikan segar, bukan ikan busuk? “Benar juga” pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata “SEGAR” dan tinggallah tulisan “JUAL IKAN”. Sesaat kemudian datanglah pengunjung ke tiga yang juga menanyakan tulisannya: “Mengapa kau tulis kata JUAL? Bukankah semua orang sudah tahu kalau ikan ini untuk dijual, bukan dipamerkan? Benar juga pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata JUAL dan tinggallah tulisan “IKAN”. Selang beberapa waktu kemudian, datang pengunjung ke 4, yang juga menanyakan tulisannya: “Mengapa kau tulis kata IKAN? Bukankah semua orang sudah tahu kalau ini Ikan bukan Daging? “Benar juga” pikir si penjual ikan, lalu diturunkannya papan pengumuman itu.

Kata Mutiara Bung Karno

Kumpulan Kata-Kata Mutiara Bung Karno Presiden RI (1945 – 1966) “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” . (Bung Karno) “Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno) “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno) “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. (Bung Karno) “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961) “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” (Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno) “……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……” (Bung Karno) “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno) “Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno) “Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya” (Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno) “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.” (Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno) “Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno) “Aku Lebih suka lukisan Samodra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase” (Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno) “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” ( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno) (indonesiaku.esc-creation)

Jumat, Januari 14, 2011

Manfaat Meramal dalam Konteks Kehidupan

Makna kata meramal tidak terlepas dari satu titik waktu menuju kepada satu titik tertentu. Jika dikaitkan dengan segala bentuk ramalan yang ada, misalnya suku Maya, itu sudah merupakan rentang waktu yang sangat panjang. Semuanya dalam penafsiran manusia saat ini dengan rujukan kita hidup di kurun waktu yang tidak sama, misalnya dengan suku Maya atau pun Jayabaya. Dalam subyek ini diberikan kata “manfaat” dan “konteks kehidupan”. Sengaja kata-kata itu dimunculkan agar tidak terjebak dengan nada-nada perseteruan tentang isi ramalan dikaitkan ujudnya yang multi tafsir. Mari kita kaji melalui beberapa aspek. Aspek ke-1, “Bentuk Bahasa” Dunia bahasa mengenal ada beberapa bentuk bahasa, yaitu bahasa isyarat, bahasa tulisan, dan bahasa percakapan. Sesuai bentuknya, ketiga bentuk bahasa tersebut mempunyai kaidahnya masing-masing. Khusus, bentuk bahasa tulisan ada yang disebut dengan gaya pengungkapan, yaitu ungkapan yang bermakna apa adanya dan ungkapan yang bermakna tersembunyi (tersirat). Dalam gaya apa adanya jelas sekali makna dan tujuannya, sedangkan gaya ungkapan masih memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk mampu memahami isinya. Lalu, ramalan-ramalan yang ada dalam bentuk bahasa yang mana? Jika merujuk kepada apa yang dikemukakan saat ini, jelas tampak dalam bentuk bahasa tertulis, karena merujuk “katanya” beberapa tulisan dari naskah kuno. Lalu, apakah memang naskah-naskah itu menyampaikan dalam bahasa apa adanya atau ungkapan? Di titik inilah kajiannya menjadi menggelitik. Jika merujuk manfaat gaya penulisan yang apa adanya, maka “diasumsikan” itulah adanya kesatuan antara itikad dan tatanan kata yang dibentuknya. Lalu, bisakah kita lebih memastikan bentuk bahasa dan gaya pengungkapan yang lebih menjurus kepada naskah-naskah tentang berbagai ramalan tersebut? Aspek ke-2, “Aspek Penggambaran Pemaknaan” Merujuk kepada aspek ke-1, mari dikembalikan kepada fakta yang ada. Ada pihak yang menterjemahkan pemahaman menurut pola penafsirannya dan ada pihak yang menterjemahkan itu adalah rahasia YMK (dalam konteks kiamat). Melalui fakta-fakta tersebut BESAR KEMUNGKINAN bahasa yang digunakan dalam ramalan-ramalan kebanyakan bahasa tulisan yang menggunakan gaya bahasa ungkapan lebih mendominasi. Rambu-rambu utamanya bukan berarti tidak jelas disampaikan. Misalnya, semua dokumen menyatakan secara esensi fakta-fakta perbuatan dari pilihan manusianya. Jika manusia itu dalam keyakinan memilih yang dikatakan “kebaikan” dalam kehidupannya konsekuensinya adalah bla..bla..bla….begitu pun, jika manusia itu dalam keyakinan memilih yang dikatakan “kejahatan” konsekuensinya adalah bla..bla..bla….dan itu semua diberikan bentuk-bentuknya sesuai kurun waktu yang ada saat itu. Maksudnya, saat malam hadir (sebagai ungkapan kegelapan dalam masal kehidupan), maka siang (sebagai ungkapan terang dalam masal kehidupan) tidak akan hadir. Dan ini selama berabad-abad dijadikan “dendangan” dalam kehidupan manusia. Inilah NUANSA yang manusia dan seluruh semesta alam TUNDUK kepada RULE OF THE GAME-nya. Jika pemaknaan di atas dialihkatakan sebagai “semesta pembicara”, semua itu kembali kepada setiap manusia memaknai kehadiran nuansa yang demikian. Karena tidak ada satu pun manusia yang akan mampu keluar dari semesta pembicara tersebut. Yang bisa dilakukan manusia MENERIMA atau MENOLAK nuansa demikian sebagai konsekuensi dari pilihan keyakinan sesuai suara hatinya. Jadi kajian, apakah setiap manusia MAMPU dengan kesadarannya menerima atau menolak dan di saat yang sama mendengar hati nuraninya dengan bijak? Jika dipahami permainan bernama catur, ada dua pilihan warna, putih atau hitam. Jadi aturan yang sudah sama-sama diterima, pemain dengan buah putih jalan dulu baru buah hitam demikian seterusnya. Please, jangan dipahami “saling” menghabisi konteksnya, namun itulah rule of the gamenya, yaitu putih dulu jalan baru hitam. Jika kemudian hitam bisa menerima kondisinya, maka si hitam bisa menjadi pemenang dari permainan catur. Sedangkan, putih hanya bisa keluar sebagai pemenang jika memang konsisten dengan pilihan awalnya. Sehingga, makna kata menang atau kalah dalam permainan catur dalam aspek budayanya adalah apakah dalam nuansa masal putih atau hitam, semua kembali kepada setiap diri dalam melakoninya. Kajian inilah yang BELUM TENTU setiap manusia mau menerimanya. Kenapa? Silahkan lihat aspek ke-3. Aspek ke-3, “Aspek Rasa” Di dalam diri setiap manusia diberikan segala bentuk rasa. Dan itu tidak akan bisa dipungkiri oleh setiap diri. Yang jadi kajian, rasa yang mana atau bagaimana yang akan mendominasi? Di sinilah kurun kehidupan akan memastikan dan yang utama adalah pilihan keyakinannya. Merujuk pemaknaan permainan catur sebagai mana aspek ke-1 dan ke-2, maka semua rasa perlu dilakoni dalam lorong kehidupan manusia. Apakah memang manusia itu MASIH yakin dengan pilihan dalam berbagai nuansa yang dihadirkan atau sekedar basa-basi saja atas pilihan keyakinannya. Sehingga aspek rasa merupakan aspek yang perlu dikelola oleh setiap diri dalam melakoni kehidupannya. Jika kita kembalikan kepada FAKTA kehidupan, apa pun bentuk ramalan yang ada, selalu akhirnya MEMUNCULKAN gambaran yang selamat adalah manusia-manusia yang secara KONSISTEN dan JELAS akan keyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan di atas segalanya. Tentunya, fakta diungkapkan dalam berbagai bentuk dan gaya bahasa. Apa ini maknanya? Jika manusia mampu melewati semua bentuk rasa di diri untuk mewujudkan keyakinan dirinya, apakah dalam nuansa hitam atau putih, sudah bisa dipastikan akhirnya adalah ketenangan atau keselamatan. Bukti dalam fakta kehidupannya ada di manusia-manusia yang sepanjang kurun kehidupan selalu di masukkan ke dalam hati sebagai SURI TAULADAN kehidupannya, yang tentunya sesuai dengan keyakinan dirinya. Melalui cara kajian di atas, semakin menjelaskan bahwa pikiran selalu mengikuti setelah bentuk-bentuk rasa bisa dikelola dengan tepat dan bijak. Jika sudah demikian, pikiran akan selalu dituntun menjadi semakin sehat dan buah dari akal yang sehat adalah MANFAAT bagi diri dan lingkungan dalam konteks kehidupan masal manusianya. Jika ini dikembalikan dalam tatanan kehidupan manusia, maka tidak ada lagi membedakan keyakinan, warna kulit, bahasa, dan semua atribut kehidupan, kecuali semuanya dikembalikan kepada kesejatian nilai-nilai kemanusiaan. Dan di saat yang bersamaan, inilah yang dikatakan TEGAKNYA hukum yang sebenar-benarnya. Inilah kesejatian awal kehadiran manusia oleh SANG MAHA PENGUASA. Kalau kemudian saat ini, muncul ini dan itu serta berbagai nada ketimpangan kehidupan, BUKAN nuansa hitam dan putihnya yang disalahkan atau ditafsirkan sebagai ramalan -ramalan yang dihadirkan. Tetapi, sejauh mana manusia MAU dan BERSEDIA berkaca kepada keyakinan diri melalui KETULUSAN, KETABAHAN, dan KEPASRAHAN dalam melakoni kehidupannya di dalam nunsa yang dihadirkan. Melalui demikian, maka aspek ke-4 akan hadir. Aspek ke-4, “Anugerah” Aspek anugerah merupakan aspek kepastian. Jika dikembalikan kepada ramalan yang ada, “katanya” suku Maya meramalkan kejadian adanya kiamat tanggal 21-12-2012. Apa iya? Mari kita lihat kenyataan kehidupan. Melalui kemampuan teknologi yang ada saat ini, manusia mampu menggambarkan adanya lempengan patah di bawah permukaan bumi dan memperkirakan akan bisa terjadi gempa di tempat-tempat yang digambarkan. Jadi kajian, kapan manusia tahu itu akan terjadi tepatnya, baik dari segi waktu atau pun lokasi? Jika ini digandeng dengan aspek ke-3, maka aspek ke-4 adalah memastikan dan kepastian itu TIDAK datang dari manusia itu sendiri. Ada yang akan memastikan. Di dunia ilmu pengetahuan kita mengenal ada yang namanya “missing link”. Dalam konteks kehidupan inilah ujud missing link-nya. Lalu, bagaimana ini bisa dipahami? Kembali kepada aspek ke-3, BUKAN dengan akal manusianya. Jika ini dimintakan pembuktian, silahkan tunjukkan dari naskah ramalan siapa pun, ada yang ungkap tanggal kejadian kiamat? Masih sanksi sebagai mana yang digembar-gemborkan kalau suku Maya meramal kiamat pada tanggal 21-12-2012. Kenapa? Melalui rangkaian aspek ke-1 sampai dengan ke-4 ini, tidak ada hal yang membuat yakin itulah tanggalnya. Kecuali, tanggal itu dipahami sebagai bahasa tulisan yang menggunakan makna ungkapan. Angka 21-12-2012 jika dijumlahkan dalam dua angka menjadi 11. Angka tertinggi dalam dunia matematika adalah 9, sedangkan angka terbesar adalah tidak ada, karena setiap angka terakhir bisa ditambahkan dengan 1. Angka awal adalah 1 dan belum ada angka namanya 0. Apa ini maknanya? Perulangan dalam bentuk yang berbeda. Angka 11 adalah angka pertama dalam tatanan puluhan, apa bedanya dengan angka 1 sebagai angka pertama dalam tatanan satuan? Jadi, secara ESENSI tetap sama, NUANSAnya yang akan berganti. Apakah kemudian kejadian itu tepat di tanggal itu? Ada yang berani pastikan? Maka, konteks apa yang dikatakan rahasia Illahi adalah dalam konteks demikian, namun apakah itu bukan kepastian? Sudah pasti, karena sejak dulu yang namanya matahari itu terbit dari Timur menuju ke Barat. Apakah YMK akan ubah menjadi dari Barat ke Timur, sehingga itulah menjadi salah satu tanda kiamat? Ya kalau lihat peredaran mataharinya menjadi demikian, tidak akan pernah kiamat, kecuali PEMAHAMAN manusianya bertransformasi apa makna Timur dan Barat dalam konteks bagi kehidupan manusianya. Melalui kajian di atas, apa yang disebut anugerah adalah SETELAH manusia itu sendiri melakoni kehidupan dalam ketulusan, ketabahan, dan kepasrahan dan di saat ada peralihan nuansa kehidupan mereka ini tidak akan mengalami kiamat. Siapa yang mengalami kiamat jika demikian? Silahkan kaji kepada setiap diri. Perlu juga dipahami makna kata kiamat salah satunya adalah tegak. Apa maknanya? TEGAKNYA HUKUM YMK sesuai dengan apa adanya bagi manusia-manusia yang melakoni kehidupan dalam ketulusan, ketabahan, dan kepasrahan. Tentang bagaimana ujudnya, masih sedang berproses saat ini.

Hidup Jangan Tertidur

Untuk dapat menikmati hidup, hal terpenting yang perlu Anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan “tertidur.” Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan “tertidur.” Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu di mana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor pin Anda. Dan Andapun menyerahkan uang Anda pada orang tidak dikenal. Anda tahu, tapi tidak sadar. Karena itu, Anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda. Pengertian menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolah raga penting untuk kesehatan, tapi Anda tidak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi Anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi Anda tidak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tidak sadar! Ada dua hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah “rahmat terselubung” karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau Anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol Anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau Anda di-PHK. Seorang wanita karier baru menyadari bahwa keluarga jauh lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis. Kematian mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, lalu tiba-tiba saja meninggal. Bayangkan kalau Anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, “Silakan Anda pulang, pertunjukan sudah selesai!” Anda protes, bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi, si penjaga hanya berkata tegas, “Pertunjukan sudah selesai, listriknya tidak akan pernah hidup kembali.” Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita pada arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita pada betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tidak sempat kita nikmati. Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai tiga hal, yaitu siapa diri kita, darimana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi. Ada sebuah ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, “Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.” Manusia bukanlah “makhluk bumi” melainkan “makhluk langit.” Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di bumi. Tubuh kita sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi, tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan “rumah” untuk mencari “rumah” yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri. Coba Anda resapi paragraf diatas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tapi jiwa kita tetap hidup. Kalau Anda menyadari hal ini, Anda tidak akan menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya. Bila Anda sudah mencapai semua kebutuhan tersebut, itu sudah cukup! Buat apa sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan — apalagi dengan menyalahgunakan jabatan — kalau hasilnya tidak dapat Anda nikmati selama-lamanya. Apalagi Anda sudah merusak jiwa Anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal, jiwa inilah milik kita yang abadi. Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar ? Jawabnya: ya! Tapi kalau Anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah: Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati Anda untuk mengerti, mendengarkan, dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma Anda. Sayang, banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sebelumnya. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.