Selasa, April 20, 2010
AN INTERNATIONAL TRIBUNAL FOR EAST TIMOR
Pengadilan Internasional Untuk Timor-Leste
Dr Clinton Fernandes UNSW@ADFA
Perjuangan untuk mewujudkan keadilan atas berbagai kasus pelanggaran HAM
masa lalu di Timor Timur tentunya bukanlah sebuah pertarungan antara
rakyat Indonesia dengan rakyat Timor Leste. Namun sebuah pertarungan di
dalam kedua negara tersebut antara mereka yang menginginkan tegaknya
keadilan dengan mereka yang terus menghendaki berlanjutnya impunitas.
Ganjalan terbesar bagi hadirnya keadilan untuk Timor Leste sesungguhnya
tidak berasal dari aspek hukum. Ganjalan terberat ternyata datangnya
dari aspek politik. Hukum yang ada tidak berpihak pada keadilan.
Sehingga harus dipahami disini bahwa tugas utama untuk para aktivis
serta pendukung tegaknya keadilan di seluruh dunia adalah berupaya
mentransformasikan konsensus pada tataran legal menjadi sebuah konsensus
politik. Sebagai contoh, pemerintah Timor Leste jelas-jelas memiliki hak
untuk menuntut keadilan berlandaskan landasan hukum yang kuat. Namun
menjadi tak berarti karena terbentur oleh opini politik internal yang
menghendaki pemerintah Timor Leste untuk bersikap realistis karena tak
ada gunanya menyudutkan kembali pemerintah Indonesia. Selain itu, opini
tadi juga merisaukan beban diplomatik yang akan diderita oleh pemerintah
Timor Leste jika harus kembali memperjuangkan isu keadilan hukum.
Karenanya, menjadi penting bagi kita semua untuk membantu terwujudnya
kondisi-kondisi dimana pemerintah Timor Leste ke depan memiliki
kemampuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan-kepentingannya secara
baik. Artikel ini bertujuan hendak mengarisbawahi bagaimana sebuah
kondisi-kondisi tadi secara realistis dapat diciptakan.
Pertama, dalam memperjuangkan keadilan hukum, adalah penting untuk
memilih kata-kata atau terma-terma yang memiliki makna yang tepat dan
jelas. Tidak abstrak. Sebagai contoh, sebutan Mahkamah Internasional
(International Tribunal) merupakan pilihan yang baik dibanding misalnya
kata-kata :
* Rekonsiliasi (terma ini sebaiknya dihindari sampai si pelaku
mendapatkan vonis atau hukuman yang jelas)
* Penghargaan atas masa lalu (ini adalah terma yang ambigu yang
kerap digunakan untuk menghindari keadilan yang sesungguhnya yang
diiinginkan)
* Keadilan (sebuah terma yang cuku baik, meski masih ada yang
lebih baik)
* Mahkamah Internasional (benar!)
Kedua, adalah penting untuk mengembangkan kemampuan intelektual dalam
mempertahankan diri saat melakukan argumentasi atau menjawab sebuah
pertanyaan. Sebaliknya, hindari slogan-slogan atau retorika. Salah satu
tantangan yang mungkin muncul adalah pernyatan yang mempertanyakan upaya
Mahkamah Internasional sebagai upaya yang tidak realistis. Pernyataan
yang lebih merupakan retorika ini, atau semacamnya, sesungguhnya pernah
pula coba dilakukan di masa lalu. Pada masa-masa memperjuangkan
kemerdekaan dulu, rakyat Timor Timur dan pejuang pro-kemerdekaan secara
terus-menerus dijejali dengan pernyataan bahwa pendudukan Indonesia di
Timor Timur adalah suatu kenyataan politik yang tak mungkin diubah atau
dikembalikan seperti semula (irreversible). Bukan kebetulan jika Komisi
Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR 2005: 7.1; 67) telah pula
meletakkan kata 'irreversible' muncul secara berulang-ulang dalam
dukumen resmi mereka selama bertahun-tahun. Malah sebaliknya dikatakan,
'dalam menghadapi situasi yang amat sulit sebagaimana keterpecahan,
keterbatasan finansial, isolasi dan ketidakberuntungan lainnya',
perjuangan kemerdekaan memilih untuk 'memfokuskan diri pada
prinsip-prinsip yang disepakati secara internasional, menghindari
kekerasan, berlaku bagi seluruh warga Timor Leste, serta mengoptimalkan
penggunaan sistem media dan jaringan masyarakat sipil internasional'
(CAVR 2005: 7.1; 123).
Sesungguhnya pandangan dan opini umum tentang ketidakrealistisan sebuah
pengadilan internasional pada masa lalu hanya mengingatkan kita pada
opini umum atau mitos-mitos yang pernah dibangun tentang
ketidakrealistisan kemerdekaan Timor Timur itu sendiri. Pada saat Perang
Dunia Kedua, Presiden AS Roosevelt membentuk sebuah Komite Penasehat
tentang Kebijakan Luar Negeri Paska Perang. Salah satu fungsinya adalah
untuk mempelajari masa depan kekuasaan kolonial Eropa. Terkait Timor
yang saat itu masih merupakan jajahan Portugis, penasehat senior
Presiden Roosevelt, Sumner Welles, menyatakan bahwa bangsa Timor mungkin
pada akhirnya bisa mendapatkan kemerdekaannya, namun 'itupun mungkin
akan diperoleh dalam waktu ribuan tahun' (Louis 1978: 237).
Adalah penting untuk menyatakan bahwa setiap upaya pengadilan
internasional selalu memiliki potensi untuk ditentang atau bahkan
digagalkan tapi akhirnya dapat terwujud. Sebagai contoh, seorang
Profesor hukum dari University of New York bernama Theodor Meron, suatu
kali pernah menulis dalam majalah Foreign Affairs bahwa pengadilan
internasional untuk kasus Yugoslavia 'tak akan bisa berlangsung secara
efektif' (Meron 1993: 122). Kurang dari satu dekade berikutnya, Meron
terpilih menjadi presiden pengadilan Internasional untuk kasus
Yugoslavia. Ketika proses pengadilan mulai ditetapkan dan dimulai, tak
satupun terdakwa kelas berat yang berhasil dimasukkan ke dalam ruang
tahanan. Tak ada pula kerjasama yang bisa dilakukan dengan negara-negara
di kawasan Balkan. Pengadilan juga hanya menerima sejumlah kecil bantuan
dari pasukan NATO yang memimpin operasi dukungan perdamaian dan
mengawasi situasi di lapangan. Keadaan ketidakpastian ini telah membuat
jaksa penuntut hamper frustasi. Namun, beberapa tahun berselang, apa
yang terjadi kemudian sungguh berbeda. Kerja-kerja pengadilan
internasional semakin bertambah banyak sehingga jaksa penuntut sampai
mencoba untuk memindahkan sebagian kasus agar disidangkan di lembaga
pengadilan nasional saja!
Resolusi Dewan Keamanan PBB yang memutuskan peradilan internasional
untuk kasus Rwanda hanya memiliki satu suara yang menolak, yakni
Pemerintah Rwanda sendiri, yang pernah suatu kali mengancam untuk
mencegah aparat-aparat Mahkamah Internasional untuk masuk ke dalam
teritori negara tersebut. Meski demikian, yang seharusnya terjadi akan
tetap terjadi, proses hukum di Mahkamah Internasional tetap berlangsung
terhadap para pemimpin pelaku pembantaian di Rwanda tahun 1994. Meski,
sejumlah proses peradilan dan jurisprudensi juga dilakukan melalui
Pengadilan Tinggi Australia, Pengadilan Tinggi Kanada dan lembaga
peradilan di Amerika dan Swis.
Ketiga, adalah penting untuk menjawab keberatan sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dr Jose Ramos-Horta:
'Jika saja kita jadi menjalani proses hukum ke Mahkamah
Internasional, lalu (penuntutan) akan kita mulai dari siapa dulu? Kita
mulai dengan (menuntut) pihak Indonesia atau mungkin Amerika Serikat
yang menyediakan alat-alat persenjataan kepada rejim Suharto. Atau
Australia. Atau mereka semua sekalian. Dan bagaimana caranya? Serta
mengapa hanya pihak Indonesia saja yang dituntut, kenapa bukan rakyat
Timor Timur sendiri, para kelompok perlawan pro-kemerdekaan yang juga
terlibat dalam aksi kekerasan? Atau mungkin kita harus memulai dari, apa
yang kita sebut sebagai, 'musuh' kita dulu. Atau, mulai dari pihak yang
paling lemah.' (Ramos Horta 2009)
Sebagai respon yang tepat untuk pernyataan ini, adalah bahwa Yang Mulia
mungkin secara kurang akurat telah mengkombinasikan dua konsep yang
berbeda, yakni: "legalitas (legality)" dan "keadilan (justice)".
Legalitas adalah sebuah aspek teknis dari hukum dan terkait erat dengan
sejarah. Sebuah pengadilan internasional untuk kasus Timor Timur
tentunya pertama-tama akan berjalan berdasarkan landasan utama hukum
internasional modern yakni Piagam PBB. Dia juga harus berlandaskan pada
traktat-traktat ataupun hukum-hukum positif yang mengikat pada saat
dugaan aksi-aksi kekerasan dilakukan. Hukum-hukum tadi tidak hanya bisa
ditemukan pada tingkat traktat yang bersifat internasional, namun juga
aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum dan keadilan yang secara umum
telah diakui dan diratifikasi dalam sebuah hukum positif pada tingkat
nasional. Dia juga akan merujuk pada segenap keputusan-keputusan hukum
yang telah ditetapkan oleh peradilan internasional sebelumnya. Sebagai
respon terhadap Yang Mulia, maka, mereka yang memiliki tangung jawab
terbesar untuk kejahatan kemanusiaan-lah yang akan menjadi terdakwa
dalam sebuah peradilan internasional.
Sementara, berbeda dengan legalitas, keadilan atau justice memiliki arti
yang lebih dalam dan luas. Ia merujuk pada sebuah projek yang berjangka
panjang yang mengandaikan hadirnya sebuah perubahan sosial yang nyata.
Kehadiran sebuah pengadilan internasional sesungguhnya merupakan bagian
erat dari projek jangka panjang mewujudkan keadilan tersebut. Ia akan
bekerja secara tandem dengan aspek-aspek kemanusiaan dan sosial-ekonomi
lainnya yang bertujuan mewujudkan sebuah masyarakat yang lebih baik,
mulai aspek kebudayaan seperti seni sampai pada aspek kesehatan,
pembangunan sosial maupun ekonomi, upah buruh, teknologi, dan
sebagainya. Pada titik ini, setiap orang tentunya akan mendukung
terwujudnya keadilan dan karena itu seyogyanya tidak menentang
terlaksananya kehadiran sebuah pengadilan internasional khususnya bagi
rakyat Timor. Karenanya, apa yang perlu dilakukan saat ini adalah secara
terbuka menyatakan dukungan terhadap pengadilan internasional serta
bersiap diri untuk bergerak bersama ketika kampanye untuk sebuah
keadilan telah datang.
Keempat. Kebingungan bahwa siapa saja yang akan menjadi terdakwa
sesungguhnya adalah semata aspek jurisprudensi. Dalam hal Pengadilan
Internasional untuk kasus Timor Timur, maka tinggal menentukan apakah
aspek jurisprudensi ini dibatasi mulai dari tanggal 5 Mei 1999 ke depan
(tanggal di mana ditandatanganinya Perjanjian New York), atau 7 Oktober
1975 ketika militer Indonesia menyerang kampong Batugade?
Dalam hukum, pecahnya sebuah konflik bersenjata skala internasional
tidak mensyaratkan sebuah deklarasi perang ataupun pernyataan secara
resmi oleh pihak-pihak yang bertikai. Ukuran untuk melihat sebuah
konflik bersenjata skala internasional adalah melalui pengamatan apakah
di sana terdapat tingkat permusuhan yang berlangsung melebihi ketegangan
internal biasa. Hukum kemanusiaan internasional berlaku mulai dari
permulaan konflik bersenjata terjadi sampai berakhirnya ketegangan dan
sebuah perjanjian damai disepakati. Agresi militer yang dilakukan oleh
tentara Indonesia di kampung Batugade pada tanggal 7 Oktober 1975 telah
mengakibatkan munculnya sebuah konflik bersenjata antar-negara. Konvensi
Jenewa tahun 1949 dapat diberlakukan dalam kasus ini, apalagi baik
Indonesia maupun Portugal adalah penandatangan dari konvensi tersebut.
Sebagai daerah milik Portugal saat itu, implilkasi dari Konvensi Jenewa
juga berlaku bagi seluruh wilayah Timor Timur yang diduduki oleh
Indonesia. Sebuah teritori dinyatakan diduduki jika dia berada di bawah
kendali nyata pihak militer yang melakukan invasi. Sejak kira-kira bulan
Desember 1978 sampai September 1999, Indonesia adalah penguasa
pendudukan yang secara efektif dan riil mengontol wilayah Timor Timur.
Meski terdapat perlawanan, adanya pendudukan militer tak dapat
dipungkiri. Sehingga, jurisdiksi waktu untuk pengadilan internasional
dapat dimulai dari tanggal 7 Oktober 1999.
Penting untuk dicatat bahwa Pengadilan Internasional untuk Timor Timur
akan diarahkan kepada tanggung jawab individu yang melakukan criminal
ketimbang tanggung jawab institusi. Sebagaimana pengadilan internasional
terhadap kasus Yugoslavia yang tertera dalam pernyataan vonis Nikolic:
'Dengan memberi penekanan pada tanggung jawab individu atas kasus
kejahatan HAM yang terjadi, maka harapannya kelompok etnis ataupun agama
tertentu (atau bahkan organisasi politik) tidak ikut terbebani atau
bertanggung jawab atas aksi kriminal yang dilakukan oleh anggota dari
kelompok tersebut, serta harapannya kesalahan yang dilakukan oleh
segelintir orang atau oknum tersebut tidak merembet kepada pihak yang
tak berdosa.' (ICTY 2003)
Kelima, adalah penting untuk mengamankan dan menindaklanjuti kemenangan
pada tataran hukum menuju kesuksesan pada wilayah politik. Kemenangan
hukum hanya akan berarti jika ia dipergunakan atau memiliki manfaat.
Sebagaimana seorang ilmuwan pernah berkata, sekitar 90 tahun lalu, bahwa
satu kelompok pejuang telah berhasil merubah Deklarasi Balfour - naskah
yang hanya terdiri dari 80 kata yang bahkan ditulis oleh seorang Menteri
Luar negeri yang tidak becus - menjadi sebuah kekuatan politik yang
nyata. Awalnya yang mereka terima kemudian hanyalah sebuah resolusi PBB
yang sangat biasa. Namun mereka menyatakan, 'Bukan, itu bukan sekedar
sebuah Resolusi PBB yang biasa, naskah itu adalah sertifikat kelahiran
kami. Itu sudah cukup bagi kami (untuk memperkuat posisi dan melanjutkan
proses selanjutnya)' (Finkelstein 2008)
Dalam kasus keadilan untuk rakyat Timor Timur, adalah sebuah keharusan
untuk mengetahui aspek legal apa yang dimiliki, dan kemudian memastikan
agar setiap orang juga mengtetahui tentang ini. Itu yang dilakukan untuk
sebuah kampanye yang sukses. Satu kemenangan hukum yang dimiliki adalah
hasil temuan hukum oleh pihak Indonesia sendiri yakni oleh Komnas HAM
yang melakukan investigasi detail pada tahun 1999. Dalam hasil
investigasinya, Komnas HAM merekomendasi agar sejumlah anggota dan
pimpinan militer Indonesia layak untuk diadili (KPP-HAM 2000). Kita
mestinya bisa menggunakan hasil investigasi dan rekomendasi tersebut
secara efektif dengan cara mensosialisasikannya kepada publik yang lebih
luas sehingga semua mengetahui hal tersebut. Selain itu yang juga bisa
digunakan adalah hasil temuan dan rekomendasi dari Komisi Penyelidikan
Internasional PBB. Komisi ini dalam rekomendasinya meminta diadakannya
sebuah Pengadilan Internasional dan melaporkan bahwa mereka telah
memperoleh berbagai pengakuan yang bahkan melebihi apa yang mereka
pernah bayangkan' (ICI 2000). Kita harus mengetahui tentang ini
sebagaimana orang lain pun harus ikut tahu. Selain itu, ada pula laporan
dari Pelapor Khusus PBB yang telah meminta adanya penuntutan kriminal
atas sejumla perwira militer Indonesia yang dinilai bertanggung jawab
'baik secara langsung di lapangan maupun secara garis komando, dari yang
terendah sampai yang paling tinggi' (PBB 1999). Terakhir adalah Komisi
Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur yang menyatakan
'sebuah peradilan internasional sesuai pada Pasal VII dari Piagam PBB'
(CAVR 2005). Karenanya kita harus mempublikasikan hal ini. Hanya dengan
demikian kita semua bisa terlibat dalam proses membangun sebuah
kemenangan politik.
Para musuh keadilan selama ini kerap menyatakan bahwa pemerintah Timor
Leste sendiri tidak menuntut adanya keadilan. Para aktivis penuntut
keadilan sebaliknya dapat menyatakan secara akurat dan tegas bahwa
temuan komisi independen masyarakat Timor Timur yang merujuk pada 8.000
naskah pengakuan, sebuah hasil survey keluarga rakyat Timor, dan sebuah
data tentang 319.000 kuburan akan lebih merefleksikan apa yang rakyat
Timor Timur sebenarnya inginkan dibanding apa yang sudah dikatakan
secara diplomatik oleh pemerintah Timor Leste yang lemah dalam
memperjuangkan implimentasi dari berbagai rekomendasi hukum yang ada.
Keenam, adalah penting untuk mengingat bahwa selama rejim Suharto,
rakyat Indonesia dibuat tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Karenanya mengupayakan rakyat Indonesia mengetahui secara jelas tentang
kejahatan HAM masa lalu dan pentingnya keberadaan pengadilan
internasional adalah upaya untuk mendukung suksesnya transisi demokrasi
di Indonesia sendiri. Hal ini takkan bisa dilakukan jika terdapat
persepsi bahwa ini adalah konflik antara bangsa Indonesia dan bangsa
Timor Timur. Persepsi ini merupakan kekeliruan besar karena kampanye
untuk mengadili penjahat HAM melalui pengadilan internasional harus
dilihat sebagai pertarungan antara mereka, baik di dalam Indonesia
sendiri maupun di Timor Leste, yang menghendaki keadilan dengan mereka
yang menginginkan impunitas terus bercokol.
Dalam rangka untuk memperkuat kampanye baik dalam masyarakat Timor Leste
maupun Indonesia, serangkaian strategi media harus dibangun dan
disebarkan. Sebagai contoh, dibutuhkan kampanye media audiovisual atau
film selama 5 menit dalam bahasa Indonesia (dan bahasa lainnya). Dalam
video ini, pembicara dari Timor Leste dan Indonesia harus muncul dan
berbicara kepada penonton demi tegaknya keadilan hukum dan moralitas.
Video ini harus ditempatkan di website, dikampanyekan di
sekolah-sekolah, universitas, pertemuan-pertemuan warga dan perkumpulan,
rumah ibadah, dan forum-forum resmi lainnya. Hampir aktivis pejuang
keadilan dari Timor Leste fasih dalam berbahasa Indonesia. Mereka harus
melatih dan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka (dengan cara
melakukan kampanye media dan lobi internasional) sebagaimana Jose
Ramos-Horta dulu pernah melakukan hal sama selama 24 tahun.
Sunguh penting membangun aliansi strategis dengan jaringan pergerakan
solidaritas global. Brasil, contohnya, kemungkinan akan menjadi kandidat
masa depan untuk anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Tentu saja Brasil
merupakan bagian dari Communidade dos Paises de Lingua Portuguesa (CPLP)
atau Komunitas Masyarakat Berbahasa Portugal. Artinya, bila ini
terlaksana mungkin bisa menjadi kesempatan untuk membangun aliansi yang
alamiah ketika saatnya tiba untuk membentuk pengadilan internasional
dalam kasus Timor Timur. Irlandia, yang menjalankan perjuangan untuk
kemerdekaan yang luar biasa, tentunya akan sangat mau menolong untuk
mengkampanyekan isu ini. Begitu pula tentunya dengan masyarakat sipil
Portugis yang akan menggunakan tekanan kepada pemerintah Portugis. Jika
saja pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru
tidak memiliki keinginan untuk membuat pengadian internasional, maka
adalah tugas para aktivis yang melakukan kampanye untuk memastikan
negara-negara tersebut tidak menghalangi jalannya persidangan ketika
masanya tiba.
Ketujuh, penting untuk diingat bahwa meski banyak para tertuduh yang
dibebaskan oleh Pengadilan HAM ad-hoc Indonesia namun sesungguhnya
mereka masih bisa untuk dibawa ke pengadilan lain yang lebih kredibel.
Para tertuduh ini tak bisa menghindari keadilan dengan menggunakan
prinsip non bis in idem, yang mencegah seseorang dari hukuman untuk
kasus kriminal yang sama. Meski prinsip ini diakui dalam khazanah hukum
HAM internasional namun terdapat dua pengecualian yakni apa yang disebut
sebagai 'shielding' dan 'due process'. 'Shielding' memiliki arti jika
persidangan ternyata malah berniat melindungi tertuduh dari sebuah
tanggung jawab kriminal yang serius. Sementara 'due process' memiliki
arti jika sebuah peradilan dianggap tidak dilaksanakan secara bebas dan
adil merujuk pada norma-norma hukum yang ada.
Sebagaimana dinyatakan secara terang dalam laporan independe milik
Profesor Diane Orentlicher kepada PBB tentang melawan impunitas bahwa:
Fakta bahwa seorang individu telah pernah diadili terkait dengan sebuah
kejahatan kemanusiaan yang serius oleh sebuah pengadilan internasional
tidak mencegah yang bersangkutan untuk memperoleh penuntutan lainnya
dalam kasus yang sama jika tujuan dari persidangan yang sebelumnya
dinilai malah melindungi yang bersangkutan dari tanggung jawab hukumnya,
atau jika peradilan tersebut sebaliknya dinilai tidak independen dan
adil sesuai dengan norma dan hukum yang diakui oleh hukum internasional
atau jika peradilan tersebut dilaksanakan dalam kondisi yang tidak
konsisten dengan tujuan untuk mengadili si pelaku (Orentlicher 2004).
Kedua pengecualian ini, 'shielding' dan 'due process' tentunya berlaku
untuk Pengadilan ad-hoc HAM. Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwa
norma-norma internasional telah bersepakat untuk melawan adanya amnesty
bagi kejahatan kemanusiaan yang serius. Statuta Pengadilan Kejahatan
Kemanusiaan Internasional telah menyatakan secara jelas bahwa 'kejahatan
paling serius yang menjadi perhatian komunitas internasional tidak boleh
tidak mendapatkan hukuman'. Adanya janji dari hukum internasional ini
jangan kemudian membuat pemerintah Timor Leste merasa harus melawan para
penjahat HAM sendirian. Justru dengan meminta agar dilakukan persidangan
internasional maka, sebagaimana dipastikan oleh hukum internasional,
pemerintah akan mendapatkan dukungan komunitas intenasional (Orentlicher
1991).
Kehadiran proses hukum internasional akan membuat masyarakat Indonesia
lebih menghormati aturan hukum sebagai bagian dari kunci sukses transisi
demokrasi yang sedang terjadi. Proses ini malah akan memberikan pesan
yang jelas bahwa tak ada setiap orang pun yang kebal hukum dan karenanya
akan memperkuat budaya demokrasi Indonesia sendiri. Itulah sebabnya
sejumlah masyarakat sipil Indonesia telah menentang amnesty dan
menyerukan proses hukum yang adil bagi aparat militer pelaku kejahatan
HAM di Timor Timur. Para pendukung demokrasi ini paham bahwa munculnya
kesadaran dan gerakan pro-demokrasi yang terjadi di Indonesia pada tahun
1990-an persis disebabkan oleh kejadian-kejadian yang menyedihkan di
Timor Timur seperti pembantaian Santa Cruz pada tahun 1991. Orang-orang
Indonesia yang mendukung adanya amnesty bagi ara pelaku kejahatan
kemanusiaan pantaslah dikatakan sebagai pendukung pembusukan moral dan
politik Indonesia.
Akhirnya, haruslah diingat bahwa kampanye untuk sebuah Pengadilan
Internasional adalah sangat penting karena memang sangat sulit untuk
mewujudkannya. Sangat penting karena ia akan menghadapi tentangan. Namun
- persis seperti mendaki gunung yang tinggi - para aktivis jangan pernah
berharap untuk bisa mencapai puncak dalam sekali upaya pendakian. Mereka
terpaksa harus membuat sebuah base camp untuk beristirahat atau
berkoordinasi dan sejumlah base camp lainnya sebelum memutuskan untuk
pendakian final ke puncak. Kepada mereka yang mendukung keadilan bagi
Timor Timur, pendidkan dan pengorganisasian adalah kata kunci. Dan sejak
belum diberlakukannya pembatasan bagi kasus separah yang dilakukan
terhadap rakyat Timor Timur, maka kita masih memiliki waktu yang tepat
untuk melakukan konsolidasi secara baik, untuk mendapatkan hasil yang
baik.
CAVR 2005, Final Report of the Commission for Reception, Truth and
Reconciliation, Dili, 2005.
Finkelstein Norman 2008, 'How can we help the Palestinian cause?',
Workshop at Birckbeck College, University of London, 23 January 2008.
ICI 2000, Report of the International Commission of Inquiry on East
Timor, A/54/726, S/2000/59.
ICTY 2003, Sentencing Judgment, Dragan Nikolic IT-94-2-S, 18 December
2003.
KPP-HAM 2000, Report of the Indonesian Commission of Investigation into
Human Rights Violations.
Louis William Roger 1978, Imperialism at Bay: The United States and the
Decolonization of the British Empire, 1941-1945, Oxford University
Press, New York.
Meron Theodor 1993, 'The Case for War Crimes Trials in Yugoslavia',
Foreign Affairs, Volume 72, Issue 3, pp122-135.
Orentlicher Diane 1991, Settling Accounts: The Duty to Prosecute
Violations of a Prior Regime (1991) 100 Yale Law Journal 2537.
Orentlicher Diane 2004, Independent study on best practices, including
recommendations, to assist states in strengthening their domestic
capacity to combat all aspects of impunity, E/CN.4/2004/88.
Ramos-Horta Jose 2009, Legatum Lecture, MIT, Cambridge.
UN 1999, Situation of Human Rights in East Timor, A/54/660, 10 December
1999.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar