Senin, Januari 11, 2010
Kamar
Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma 3 m x 4 m, “terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuninya tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika sebuah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa.
Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu “tertidur dalam tersedu”. Sang bapak “terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran “orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak “sudah lima anak bernyawa di sini”.
Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. “Keramaian penjara sepi selalu”.
Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini – yang baru saja berulangtahun ke-482 -- dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?
Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah”. Itu tulis Gaston Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun”. Akhirnya rumaha hanya terbangun horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.
Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas.
Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.
Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima…
Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa disebut “rumah”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat pertemuan…
Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak menyebut diri "tuna-wisma".
Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi selalu.”
Goenawan Mohamad
Jumat, Januari 08, 2010
Adeus Major Ular
Loron matan, Fitun no Fulan, Udan no Anin, Timor no nia Balada tomak sai sasin ba MAJOR nia Moris.......
Rai no Balada tomak hatene MAJOR nia hahalok........
Sakrifisio vida tomak ba MAJOR nia rai doben liu husi tentasaun oi-oin, ikus MAJOR hetan victoria bot ida ba MAJOR an rasik mos istoria bot ida ba MAJOR nia Oan Doben sira. Los MAJOR nia belun bot dehan ”Buat barak MAJOR halo ona ba rai doben, Estado seidauk fo hotu buat nebe MAJOR halo” maibe karik ne’e husi MAJOR nia fuan laran la husu.... tamba MAJOR hadomi MAJOR rai doben Timor.
Timor doben Lakon nia ema diak ida
Timor doben susar atu hetan ema diak ida hanesan MAJOR....
Laiha kolen wainhira Major hakur mota, sae-tun foho, no toba iha rai fuik laran
Sakrifika an hasoru udan, anin no loron matan
Aten brani hasoru empuscada inimigo nia no ho asasino hasoru kilat musan inimigu nia
Karik fitio Major nia sempre hakbesik ba ema hotu, paz nain, dame nain no aman ba ema hotu, inimigo sai amigo i amigo sai nia familia
Laiha ema ida atu halo tuir MAJOR nia hahalok, maibe ami fiar instituisaun nebe MAJOR knar’an ba sei konta no halo tuir MAJOR nia hakarak no hahalok iha sira nia neon no hanoin...........
Lalenok MAJOR nia sei iha MAJOR nia oan sira nia moris.....maske sira lakon aman nebe sira hadomi maibe sira mos orgulho tamba MAJOR nudar Aman rai hela istoria bot ida iha sira nia moris no Timor
Adeus Heroi da Libertasaun I Adeus Major
Hakmatek ba iha PAZ
Dili, 070101
Ular Rheik, mantan GPK Timtim (Comandante Região 4 Falintil)
Ular Rheik, mantan GPK Timtim (Comandante Região 4 Falintil)
Kemarin sore, 6 Januari 2009, Mayor Ular Rheik, kepala administrasi keuangan F-FDTL (Angkatan Pertahanan Timor-Leste) meninggal dunia. Sehari sebelumnya ia dibawa ke Rumah Sakit Nasional Guido Valadares, Dili, karena dadanya merasa sakit. Ia sudah delapan bulan berhenti merokok karena gangguan pada paru-parunya. Setelah menjalani pemeriksaan, ia diperbolehkan pulang. Tetapi sehari kemudian ia kembali dilarikan ke rumah sakit karena jatuh di kamar mandi. Ia meninggal tak lama sesudah tiba di rumah sakit.
Ular Rheik dilahirkan di desa Bibileu, Viqueque, 56 tahun yang lalu dengan nama Virgílio dos Anjos. Dia adalah anak ke-3 dari pasangan Madalena dan Celestino dos Anjos yang dikarunia tujuh anak (empat laki-laki dan tiga perempuan). Sewaktu masih bujangan, Celestino dos Anjos pada masa Perang Dunia II mendapatkan pelatihan militer tentara Australia karena direkrut untuk membantu operasi gerilya pasukan khusus angkatan bersenjata Australia Kompi Independen 2/2 menghadapi tentara Jepang yang menduduki Timer-Leste. Atas jasa-jasanya, setelah Perang Dunia berakhir, Celestino mendapatkan bintang penghargaan dari angkatan bersenjata Australia.
Virgílio dos Anjos menempuh pendidikannya di sekolah misi Katolik di Ossu, yang terletak sekitar 30 km dari desanya. Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia menjadi guru sekolah dasar di sekolah yang sama. Pada waktu berlaku peraturan pemerintah kolonial Portugis bahwa semua orang yang berpendidikan harus memasuki dinas wajib militer dua tahun. Ketika masanya tiba, Virgílio pun memasuki dinas pada angkatan bersenjata Portugis. Tidak lama setelah selesai mengikuti pendidikan militer, pada 1974 Virgílio diangkat menjadi wakil komandan kompi di Viqueque.
Revolusi Bunga Anyelir (Revolução dos Cravos) menggulingkan pemerintahan diktator Caetano di Portugal menimbulkan kebangkitan politik di Timor-Leste. Muncul partai-partai politik dengan agenda masing-masing, dengan tiga partai terpenting Fretilin (Front Kemerdekaan Timor-Leste) yang menginginkan kemerdekaan segera, UDT (Uni Demokrat Timor) yang menginginkan kemerdekaan bertahap setelah 15 tahun, dan Apodeti (Asosiasi Kerakyatan Demokratis Timor) yang menginginkan integrasi Timor-Leste ke dalam negara Indonesia. Virgílio tidak masuk salah satu partai politik karena sebagai anggota angkatan bersenjata dia terikat pada ketentuan “apartidarismo” (tidak berpartai) yang berlaku di dalam angkatan bersenjata Portugis.
Pada 11 Agustus UDT melancarkan gerakan bersenjata menangkap sejumlah pemimpin Fretilin dan mendesak pemerintah Portugis untuk mengusir sejumlah pemimpin Fretilin dan sejumlah pejabat pemerintah Portugis yang mereka anggap “radikal”. Karena pemerintah Portugis tidak bisa menguasai keadaan, Fretilin melakukan tindakan balasan setelah terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari orang-orang Timor-Leste anggota angkatan bersenjata kolonial. UDT dan sekutu-sekutunya terpukul mundur dan lari melintasi perbatasan ke Atambua setelah pertempuran “perang saudara” selama tiga minggu. Karena pemerintah Portugis tidak kunjung memenuhi seruan Fretilin agar kembali untuk melanjutkan pelaksanaan dekolonisasi yang telah mereka mulai, Fretilin pun mereorganisasi angkatan bersenjata Portugis menjadi Forças Armadas da Libertação Nacional de Timor-Leste (Falintil – Tentara Pembebasan Nasional Timor-Leste). Hal ini juga mereka lakukan karena tentara Indonesia sejak bulan September sudah mulai melakukan aksi-aksi penyusupan lintas batas dari Atambua. Virgílio dos Anjos pun bertugas sebagai wakil komandan kompi dari Falintil.
Pada bulan Oktober tentara Indonesia mulai melancarkan invasi terhadap kota-kota kecil perbatasan Timor-Leste seperti Balibo. Pada pagi harinya 28 November 1975 kota Atabae jatuh setelah digempur dari darat, laut dan udara oleh tentara Indonesia. Sore harinya, untuk mencegah Indonesia menduduki Timor-Leste yang waktu itu vakuum kekuasaan karena perginya pemerintah kolonial Portugis, Fretilin pun mengumumkan berdirinya negara merdeka Republik Demokratik Timor-Leste. Falintil pun menjadi angkatan bersenjata dari negara yang baru diproklamasikan ini. Namun proklamasi tersebut tidak membuat pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto menghentikan niatnya melakukan aneksasi. Republik Demokratik Timor-Leste diinvasi dari darat, laut dan udara oleh tentara Indonesia pada 7 Desember 1975. Pemerintah yang didirikan Fretilin mengungsi ke pegunungan,mendirikan pemerintahan di hutan di wilayah yang mereka sebut ‘zonas libertadas’ (wilayah yang dibebaskan). Sekitar 80% penduduk sipil ikut bersama mereka. Falintil pun melakukan ‘guerra popular prolongada’ (perang rakyat jangka panjang) dari pangkalan mereka di pegunungan.
Meskipun Falintil kalah dari segi jumlah kekuatan personil maupun persenjataan, sulit bagi Indonesia untuk mengalahkan mereka. Berbagai operasi militer dilancarkan Indonesia untuk menghancurkan zonas libertadas. Akhirnya dengan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat, semua pangkalan Falintil di zonas libertadas berhasil dihancurkan oleh tentara Indonesia pada ofensif yang dilakukan akhir 1978 hingga pertengahan 1979. Falintil yang tidak mendapatkan bantuan persenjataan dari manapun, tidak bisa menghadapi pesawat-pesawat counter-insurgency OV 10 Bronco yang baru didapatkan angkatan bersenjata Indonesia dari Amerika Serikat. Jenis pesawat ini memang dirancang khusus untuk menghadapai gerilya di medan yang bergunung-gunung.
Dengan hancurnya zonas libertadas, penduduk sipil turun gunung menyerah kepada tentara Indonesia. Sementara satuan-satuan tentara Falintil yang selamat dari penghancuran meneruskan perjuangan bersenjata di hutan-hutan, kali ini tanpa mempertahankan pangkalan tetap. Ketika penduduk sipil menyerah, di antara mereka sebenarnya terdapat anggota-anggota Falintil dan kader-kader politik yang menyamar sebagai penduduk sipil. Mereka ikut turun gunung dengan tugas untuk mencari jalan untuk mendukung perjuangan rekan-rekan mereka yang masih bertahan di hutan. Virgílio dos Anjos adalah salah satu dari anggota Falintil yang turun bersama penduduk sipil.
Penduduk yang turun gunung oleh tentara Indonesia tidak diperbolehkan kembali ke desa masing-masing. Mereka ditempatkan di desa-desa baru yang diawasi dengan ketat oleh tentara Indonesia. Virgílio dos Anjos bersama keluarganya ditempatkan di kawasan Kraras. Tidak lama kemudian ia aktif dalam kegiatan kepemudaan yang diselenggarakan Indonesia dengan untuk membina pemuda Timor-Leste agar setia kepada Indonesia. Di dalam kegiatan kepemudaan inilah diam-diam Virgílio membangun jaringan clandestina untuk mendukung para pejuang Falintil yang belum menyerah.
Kerja clandestina Virgílio dos Anjos demikian rapihnya, sehingga tidak diketahui oleh tentara Indonesia. Sampai-sampai ketika tentara Indonesia membentuk satuan Ratih (Rakyat Terlatih), Virgílio termasuk yang direrut ke dalamnya. Satuan ini adalah sejenis Hansip (Pertahanan Sipil) yang ada di Jawa. Tetapi berbeda dengan di Jawa, Ratih di Timor-Leste dipersenjatai dengan senjata standar tentara Indonesia dan beroperasi langsung di bawah tentara Indonesia. Di antara para mantan anggota Falintil yang masuk Ratih terjadi saling hubungan. Merekapun dengan berbagai macam cara berhubungan clandestina dengan gerilyawan Falintil yang beroperasi di hutan-hutan.
Pada 1983, setelah beberapa kali dilakukan perundingan, Panglima Falintil Xanana Gusmão dan Komandan Korem 074/Wira Dharma Timor Timur Kolonel Purwanto mengadakan gencatan senjata sementara. Tetapi gancatan senjata ini hanya berlangsung beberapa bulan karena dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang baru, Jenderal Benny Moerdani mengambil garis kebijakan yang keras menghadapi apa yang mereka sebut “Gerakan Pengacau Keamanan” (GPK). Falintil pun melancarkan “Levantamento” (kebangkitan), yaitu memerintahkan penyerangan dan pembelotan satuan-satuan Ratih yang beranggotakan mantan-mantan anggota Falintil. Dua komandan Ratih paling utama yang memimpin pemberontakan adalah Virgílio dos Anjos di Kraras dan Falur Rate Laek di Ossu. Serangan yang dilakukan Ratih di bawah pimpinan Virgílio dos Anjos berhasil menghabisi satu peleton Zipur yang berpangkalan di Kraras. Hanya satu orang tentara Indonesia yang selamat dari serangan ini, karena dia bersembunyi dengan memanjat sebatang pohon kosambi yang tinggi.
Levantamento Ratih dibalas dengan kejam oleh tentara Indonesia. Hampir semua laki-laki dewasa di Kraras dibantai oleh tentara Indonesia, sehingga sesudah itu Kraras dikenal sebagai “desa janda.” Celestino dos Anjos, ayah Virgílio ditangkap dan ditahan tentara Indonesia. Tentara Indonesia juga menahan Alda (alias Bui Hare), istri Virgílio yang sedang hamil. Akhirnya kedua orang itu mati akibat tidak tahan siksaan dalam tahanan tentara Indonesia.
Setelah Levantamento, Virgílio dos Anjos kembali menjalani kehidupan sebagai pejuang Falintil di hutan. Pasukan Ratih yang lari ke hutan di bawah pimpinannya digabungkan dengan Ratih di bawah pimpinan Falur Rate Laek menjadi satu kompi, yaitu Kompi 3 Falintil. Falur Rate Laek menjadi primeiro comandante (komandan pertama) dan Virgílio dos Anjos menjadi segundo comandante (komandan kedua atau wakil komandan).
Dengan terjadinya perombakan dalam tubuh Falintil pada 1984, Virgílio yang selanjutnya menggunakan nama perjuangan Ular Rheik (kata-kata bahasa Tetun Terik, artinya: Ular Ganas), menempati posisi sebagai segundo comandante Unidade A yang beroperasi di kawasan timur, primeiro comandante-nya adalah Lere Anan Timor (sekarang Kepala Staf Angkatan Pertahanan Timor-Leste). Ketika pada 1996 Falintil merombak lagi wilayah operasinya, Comandante Ular Rheik mendapat tugas baru. Ia pindah dari wilayah timur ke barat karena Panglima Falintil Kayrala Xanana menunjuknya sebagai Comandante Região 4 (Komandan Wilayah 4). Waktu itu hingga perang berakhir pada 1999 Falintil membagi Timor-Leste ke dalam 4 região: Regiao 1 untuk Lospalos, Viqueque dan Baucau, Região 2 untuk Manatuto, Aileu, Manufahi dan Ainaro, dan Região 4 untuk Bobonaro, Covalima, Ermera dan Liquiça. Di bawah kepemimpinan Comandante Ular, Região 4 sangat rapih dan kuat dalam pengorganisasian jaringan clandestina, sehingga ketika Nino Konis Santana menggantikan Kayrala Xanana yang tertangkap tentara Indonesia pada 1992, ia pun menempatkan markasnya di Ermera yang berada dalam tanggungjawab Comandante Ular.
Tanggungawab sebagai Comandante Região 4 dipikul Ular Rheik hingga Falintil memasuki acantonamento (cantonment atau pengantongan) setelah Perjanjian 5 Mei 1999 mengenai referendum untuk menentukan masa depan politik Timor-Leste yang dilaksanakan Agustus 1999. Pada waktu itu, Panglima Falintil Kayrala Xanana mengeluarkan perintah melarang satuan-satuan Falintil melakukan penyerangan, suatu keputusan yang dengan berat diterima oleh Comandante Ular Rheik, karena waktu itu milisi-milisi anti-kemerdekaan justru sedang melakukan serangan yang luas terhadap penduduk sipil yang mendukung kemerdekaan. Masa acantonamento diperpanjang setelah Referendum dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. Hanya saja sekarang Falintil dari seluruh wilayah dipindahkan ke Aileu.
Pada 2001 dibentuk angkatan bersenjata yang baru untuk negara Timor-Leste Merdeka. Falintil menjadi tulang punggung Forças Defesa de Timor-Leste (FDTL – Angkatan Pertahanan Timor-Leste), yang setelah penyerahan kedaulatan dari PBB ke Timor-Leste namanya diubah menjadi Falintil-FDTL (F-FDTL). Ular Rheik pun mengikuti berbagai pendidikan militer di luar negeri yang diperlukan untuk membangun tentara profesional, yang sangat berbeda dengan tentara gerilya pembebasan nasional. Dalam F-FDTL, dia mendapat pangkat mayor, yang disandangnya hingga akhir hayatnya.
Meskipun di F-FDTL dia bertugas di staf umum sebagai kepala bagian administrasi keuangan, tidak berarti dia tidak mengurusi operasi. Ketika saat-saat membutuhkan ia kembali memanggul senjatanya. Misalnya ketika sepasukan milisi anti-kemerdekaan melakukan penyusupan dari wilayah Atambua masuk hingga Ermera di wilayah tengah pada tahun 2001, Komando FDTL menugaskannya memimpin operasi menghadapi mereka. Ia juga ditunjuk memimpin operasi ketika ratusan anggota F-FDTL yang melakukan desersi melakukan penyerangan tehadap markas F-FDTL pada Mei 2006. Ia kembali meninggalkan tugas administrasinya setelah terjadinya penembakan terhadap Presiden José Ramos-Horta Februari 2008. Komando F-FDTL memerintahkannya memimpin operasi di wilayah Ermera untuk mencari desertir F-FDTL anak buah ex-Mayor Alfredo Reinado Alves yang disangka melakukan penembakan tersebut.
Pejabat tinggi militer ini hidup sangat sederhana. Jika tidak berdinas, ia lebih sering mengendari sepeda motornya daripada naik mobil dinas. Ular Rheik meninggal dunia dengan meninggalkan istrinya, Jovita Araújo. Ular baru menikah kembali setelah perang pembebasan nasional berakhir pada 1999. Mereka dikarunia lima orang anak yang mash kecil-kecil, yang sulung sekarang berusia 8 tahun dan yang bungsu baru berusia 7 bulan.
Selamat jalan Comandate Ular, di jalan menuju sorga anda akan senang berkenalan dan ngobrol dengan salah satu anak terbaik bangsa Indonesia, Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia yang sangat lucu dan tidak anti-kemerdekaan Timor-Leste, yang ketika mengunjungi Timor-Leste meminta maaf atas penderitaan rakyat Timor-Leste akibat kesalahan keputusan politik pemerintah Indonesia di masa lalu.
Oleh :Nug K.
Dili, 7 Januari 2009
Langganan:
Postingan (Atom)